Home » , » Makalah "Mitos dalam Sastra Lisan dan Impilikasinya Terhadap Pembelajaran SMA"

Makalah "Mitos dalam Sastra Lisan dan Impilikasinya Terhadap Pembelajaran SMA"

Isi makalah ini tentang mitos dalam cerita rakyat. Cerita rakyat itu sendiri merupakan sastra lisan. Dalam makalah ini dijelaskan pengertian mitos, sastra, dan sastra lisan.  Kesimpulannya, bahwa cerita rakyat yang mengandung mitos dapat diajarkan di sekolah pada mata pelajaran Bahasa Indonesia untuk kelas X (sepuluh)  SMA.

Berikut materi makalah ini.

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sastra merupakan tiruan kehidupan nyata dan merupakan suatu karya seni sebagai pencerminan, peniruan, ataupun membayangkan realitas yang ada pada kehidupan manusia. Karya sastra merupakan hasil pemikiran atau hasil tulisan dari seorang pengarang yang memiliki ide-ide luar biasa. Satu di antara hasil karya sastra adalah sastra daerah.
 Sastra daerah berkembang di tengah-tengah masyarakat yang diwariskan secara turun-temurun. Isi sastra daerah memiliki nilai-nilai luhur dan tujuan tertentu dalam penceritaannya. Penyebarannya di tengah-tengah masyarakat melalui interaksi dan komunikasi banyak mengandalkan bahasa lisan, maka sastra daerah tersebut disebut pula sastra lisan. Salah satu jenis sastra lisan adalah cerita rakyat yang sebagian besar masih tersimpan oleh para orang tua di kampung-kampung tertentu. yang masih menghaf. Bila tidak dilestarikan, didokumentasikan, dan dijadikan bahan penelitian maka jumlahnya akan berkurang seiring dengan perkembangan zaman.
Sebagai salah satu jenis karya sastra, cerita rakyat banyak menjadi bahan pelajaran di sekolah mulai dari setingkat Sekolah Dasar (SD), sampai setingkat Sekolah Menengah Atas (SMA). Cerita rakyat yang banyak dikenal dan diajarkan di berbagai sekolah di Sulawesi Tenggara saat ini misalnya “Malin Kundang” dari Sumatera Barat, “Timun Mas” dari Jawa Tengah, “Sangkuriang” dari Jawa Barat, dan masih banyak lagi. Padahal, ada begitu banyak cerita rakyat dari berbagai daerah di Sulawesi Tenggara yang bisa diangkat dan dikembangkan sebagai bahan pelajaran. Misalnya cerita rakyat yang ada di Kabupaten Muna.
Muna merupakan salah satu daerah dengan kekayaan cerita rakyat yang beragam. Cerita rakyat tersimpan dalam memori sebagian kecil masyarakat yang biasa menuturkannya. Cerita rakyat tidak hanya sekedar karangan biasa tetapi juga menggambarkan keadaan kehidupan masyarakat penuturnya. Kehidupan yang masih terbalut berbagai mitos yang dipercayai dan menjadi dasar mereka melakukan atau memutuskan sesuatu.
Mitos merupakan unsur kebudayaan yang hampir ada di setiap kelompok masyarakat di berbagai belahan bumi, baik pada kelompok yang sudah maju maupun terbelakang. Sebagian kelompok masyarakat ada yang mulai meninggalkan hal-hal kepercayaan-kepercayaan tentang mitos dan ada pula yang masih mempercayai mitos. Mitos ini tetap dijaga keberadaannya melalui cerita-cerita rakyat yang berkembang di tengah masyarakat, salah satunya yang ada di Kecamatan Tongkuno, Kabupaten Muna. Di daerah itu masih terdapat penutur cerita rakyat yang mengandung mitos. Terdapat mitos-mitos atau kepercayaan tentang manusia yang dikutuk menjadi buaya, manusia berbadan setengah ular dan lainnya.

1. 2 Rumusan Masalah

- Apa Pengertian Sastra Lisan?
- Apa pengertian  mitos?
- Bagaimana  implikasi terhadap pembelajaran di Sekolah Menengah Atas (SMA)?


BAB II
Pembahasan

2.1 Sastra
Sastra secara etimologi diambil dari bahasa-bahasa Barat (Eropa) seperti literature (bahasa Inggris), littérature (bahasa Prancis), literatur (bahasa Jerman), dan literatuur (bahasa Belanda). Semuanya berasal dari kata litteratura (bahasa Latin) yang sebenarnya tercipta dari terjemahan kata grammatika (bahasa Yunani). Litteratura dan grammatika masing-masing berdasarkan kata “littera” dan “gramma” yang berarti huruf (tulisan atau letter). Teeuw (dalam Made Astika dan Yoman Yasa, 2004: 9) menjelaskan bahwa Secara etimologi, sastra berasal dari bahasa Sansakerta ‘Castra’ yang berarti ‘petunjuk’ atau ‘pengarah’. Bila dipadankan dengan kata ‘littera’ bahasa Latin yang berarti huruf atau pada ‘literature’ maka padanan tersebut kurang cocok. Barangkali hal ini berkaitan bahwa Indonesia lebih identik dengan tradisi lisan daripada tulisan.
Sumardjo & Saini (1997: 3-4) menyatakan bahwa sastra merupakan ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkret yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa. Sehingga sastra memiliki unsur-unsur berupa pikiran, pengalaman, ide, perasaan, semangat, kepercayaan (keyakinan), ekspresi atau ungkapan, bentuk dan bahasa.
Karya sastra adalah ungkapan pikiran dan perasaan seseorang pengarang dalam usahanya untuk menghayati kejadian-kejadian yang ada di sekitarnya, baik yang dialaminya maupun yang terjadi pada orang lain pada kelompok masyarakatnya. Hasil imajinasi pengarang tersebut diungkapkan ke dalam karya untuk dihidangkan kepada masyarakat pembaca agar dinikmati, dipahami dan dimanfaatkan. Dengan demikian karya sastra bukanlah suatu karangan kosong atau khayalan yang sifatnya tidak sekadar menghibur pembaca saja tetapi melalui karya sastra pembaca akan lebih memahami masalah kehidupan. Sebagaimana aspek mimetis, karya sastra merupakan cerminan dari kondisi masyarakatnya (Made Astika dan Yoman Yasa, 2004: 9)
Menurut pandangan Sugihastuti (2007: 81-82) karya sastra merupakan media yang digunakan oleh pengarang untuk menyampaikan gagasan-gagasan dan pengalamannya. Sebagai media, peran karya sastra sebagai media untuk menghubungkan pikiran-pikiran pengarang untuk disampaikan kepada pembaca. Selain itu, karya sastra juga dapat merefleksikan pandangan pengarang terhadap berbagai masalah yang diamati di lingkungannya. Realitas sosial yang dihadirkan melalui teks kepada pembaca merupakan gambaran tentang berbagai fenomena sosial yang pernah terjadi di masyarakat dan dihadirkan kembali oleh pengarang dalam bentuk dan cara yang berbeda. Selain itu, karya sastra dapat menghibur, menambah pengetahuan dan memperkaya wawasan pembacanya dengan cara yang unik, yaitu menuliskannya dalam bentuk naratif. Sehingga pesan disampaikan kepada pembaca tanpa berkesan mengguruinya.

2.2 Sastra Lisan

Dalam perkembangann sastra, bentuknya bukan hanya ditemukan dalam bentuk tulisan seperti pada pada literatur dan naskah-naskah kuno, tetapi wacana yang bukan aksara atau tak tertulis juga dapat dikategorikan sastra yakni sastra lisan. Sastra lisan disebut Literature transmitted orally atau sastra oral yang lebih di kenal dengan istilah folklore. Sementara Danandjaja (dalam Made Astika dan Yoman Yasa, 2004: 9)  menyebut tradisi lisan sinonim dari folklor lisan (1998: 54). Hal ini karena sastra lisan merupakan bagian kebudayaan yang tersebar dan diwariskan turuntemurun baik yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat. Terlepas dari bahasan folklor atau bukan, tradisi lisan mempunyai pengaruh dalam pembentukan budaya dan mempertahankannya. 
Sibarani (2012: 33) mengemukakan bahwa sastra lisan sering juga disebut sebagai sastra rakyat, karena muncul dan berkembang di tengah kehidupan rakyat biasa. Sastra lisan ini dituturkan, didengarkan dan dihayati secara bersama-sama pada peristiwa tertentu, dengan maksud dan tujuan tertentu pula.  Lebih lanjut, Sibarani menjelaskan bahwa tradisi lisan berbeda dari sastra lisan. Sastra lisan tetap sastra lisan dan tidak menjadi tradisi lisan jika tidak lagi memiliki peristiwa pertunjukan atau tradisi penyampaian; sastra lisan bersama konteks pertunjukan atau konteks penyampaian disebut tradisi lisan. Menurut Sibarani berdasarkan jenis, ciri-ciri, dan fungsinya, folklor merupakan bagian dari tradisi lisan. Sama halnya dengan sastra lisan di atas, baik folklor lisan, sebagian lisan maupun bukan bukan lisan semuanya merupakan tradisi lisan apabila terpisah dari konteks pertunjukan dan konteks penggunaannya.
Dari pembahasan yang demikian, dapat disimpulkan bahwa sastra lisan dapat menjadi tradisi lisan dan dapat pula menjadi folklor. Sastra lisan dapat menjadi folklor jika arah penelitian masih dikaitkan dengan pemilik kolektif sastra lisan itu dan dapat menjadi tradisi lisan jika masih memiliki peristiwa pertunjukan atau tradisi penyampaian. Sastra lisan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah cerita rakyat di ada di Kecamatan Tongkuno Kabupaten Muna.

2.3 Mitos

Menurut Barthes (2006:151-154) mitos merupakan sistem komunikasi, bahwa dia adalah sebuah pesan. Oleh sebab itu, mitos tidak bisa dibatasi hanya wicara lisan saja. Pesan bisa terdiri dari berbagai bentuk tulisan atau representasi. Bukan hanya dalam bentuk wacana tertulis, Namun juga berbentuk fotografi, sinema, reportase, olahraga, pertunjukkan, publikasi, yang semuanya bisa berfungsi sebagai pendukung wicara mistis. Mitos tidak dapat dijelaskan oleh objek maupun oleh materinya, sebab materi apapun secara arbitrer bisa didukung oleh makna.
Mitos adalah satu sistem khusus, karena dia terbentuk dari serangkaian rantai semiologis yang telah ada sebelumnya. Mitos adalah sistem semiologis tingkat kedua. Tanda (yakni gabungan total antara konsep dan citra) pada sistem pertama, menjadi penanda pada sistem kedua. Dalam konteks ini yang tidak tidak boleh lupa bahwa materi-materi wicara mistis (bahasa, fotografi, lukisan, poster, ritual, objek-objek, dan yang lainnya) meskipun pada awalnya berbeda, direduksi menjadi fungsi penandaan murni begitu mereka ditangkap oleh mitos. Mitos melihat mereka (materi-materi wicaranya) hanya sebagai bahan mentah. Sehingga kesatuannya adalah bahwa mereka semua berubah status hanya menjadi bahasa. Mitos pada kenyataanya memiliki fungsi ganda. Menunjukkan dan memberitahu, membuat kita bisa memahami sesuatu dan membebankan sesuatu itu kepada kita. Barthes (2006:161-165).
Mitos adalah tipe wicara, segala sesuatu bisa menjadi mitos asalkan disajikan oleh sebuah wacana. Mitos tidak ditentukan oleh pesannya, Namun oleh cara dia mengutarakan pesan itu sendiri. Barthes (2006:152) menjelaskan, segala sesuatu bisa menjadi mitos. Sebab alam semesta ini begitu subur dugaan dan saran. Segala objek di dunia ini dapat pindah dari keberadaan yang diam dan tertutup kepada keberadaan oral, yang terbuka untuk ditafsirkan oleh masyarakat, sebab tak ada hukum, alamiah atau tidak, yang melarang orang berbicara tentang berbagai hal.
Mitos adalah sebuah nilai, kebenaran bukan merupakan jaminan baginya. Tak ada yang bisa mencegah berubahnya mitos menjadi alibi abadi, cukuplah dikatakan bahwa penanda mitos memiliki dua sisi karena mitos selalu menggunakan “sesuatu yang ada ditempat lain” sesuai kehendaknya. Kini kita tahu bahwa mitos adalah tipe wicara yang lebih banyak ditentukan oleh maksud ketimbang oleh makna literalnya. Barthes (2006:176-177).


2.4 Pembelajaran Cerita Rakyat di Sekolah

Pembelajaran cerita rakyat terdapat pada mata pelajaran Bahasa Indonesia untuk kelas X (sepuluh)  SMA kurikulum 2013, dengan materi tentang cerita rakyat. Kompetisi dasar dalam silabus yang mendukung pembelajaran cerita rakyat yakni mengembangkan cerita rakyat (hikayat) ke dalam bentuk cerpen dengan memerhatikan isi dan nilai-nilai.

Daftar Pustaka

A, Teeuw. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.
Barthes, Roland. 2006. Mitologi. Jogjakarta: Kreasi wacana.
Made Astika dan Yoman Yasa. 2004. Sastra Lisan; Teori dan Penerapannya. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sibarani, R. 2012. Kearifan Lokal. Hakikat, Peran,dan Metode Tradisi Lisan. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan.
Sugihastuti, 2007. Teori Apresiasi sastra. Jogjakarta: Pustaka Pelajar.

Sumardjo & Saini .1997. Apresiasi kesusastraan. Jakarta : Gramedia Pustaka.

0 komentar:

Posting Komentar