URAIAN MATERI
Sastra melayu klasik sebenarnya merupakan karya sastra indonesia yang dihasilkan antara tahun 1870 sampai dengan tahun 1942, yang pada waktu itu berkembang dilingkungan masyarakat Sumatera seperti "Minangkabau, Langkat, Tapanuli dan daerah Sumatera lainnya", orang Tionghoa dan masyarakat Indo-Eropa.
Karya sastra pertama yang terbit sekitar tahun 1870 masih dalam bentuk syair, hikayat dan terjemahan novel barat. Sastra tersebut disebut sebagai sastra melayu klasik karena sastra tersebut berkembang di daerah melayu pada masa sebelum dan sesudah islam hingga mendekati tahun 1920-an di masa balai pustaka.
Catatan tertulis yang pertama kali ditemukan menggunakan bahasa Melayu Kuno yang kabarnya berasal dari abad ke-7 Masehi, bahkan sastra tersebut tercantum pada beberapa prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya di bagian selatan Sumatera dan wangsa Syailendra di beberapa tempat di Jawa Tengah. Tulisan ini menggunakan aksara Pallawa. Selanjutnya, bukti-bukti tertulis lainnya bermunculan di berbagai tempat, meskipun dokumen terbanyak kebanyakan mulai berasal dari abad ke-18.
Karya sastra melayu klasik sebenarnya merupakan bagian dari cerita rakyat yang berkembang di daerah melayu. Untuk perbedaan karya sastra melayu klasik dan cerita rakyat ialah karna karya sastra melayu klasik merupakan cikal bakal sastra Indonesia modern, sedangkan cerita rakyat ialah cerita yang berkembang di daerah masing-masing. Agar lebih memahami atau lebih jelasnya membedakannya perhatikan ulasannya berikut ini.
A. Ciri-Ciri Karya Sastra Melayu Klasik
Karya sastra Melayu klasik memiliki ciri-ciri yang membedakannya dengan karya sastra modern. Ciri-ciri tersebut ialah anonim, bertema istana sentris, bernilai budaya lokal, dan disebarkan secara lisan.
1. Anonim artinya tak diketahui pengarangnya. Hal ini membuktikan bahwa pengarang syair atau cerita pada zaman dahulu lebih menitikberatkan fungsi cerita dibandingkan dengan popularitas pengarang cerita itu sendiri.
Contoh karya sastra Melayu klasik ini terdapat pada seluruh cerita klasik, di antaranya "Lebai Malang", "Hikayat Raja Indera", dan "Hikayat Hang Tuah". Oleh sebab itulah karya sastra Melayu klasik dianggap sebagai cerita milik bersama (masyarakat) sehingga sering juga disebut cerita rakyat.
2. Bertema istana sentris, yakni segala sesuatu yang terdapat dalam syair maupun cerita harus disesuaikan dengan kebudayaan istana dan mengacu pada kesakralan kerajaan dan raja-raja yang memimpinnya.
Hal tersebut diwajibkan oleh pihak kerajaan agar tak ada pihak yang berpotensi untuk berkhianat serta menghancurkan kerajaan yang memimpin masyarakat tersebut.
Pada zaman tersebut juga raja dianggap sebagai satu-satunya pihak yang mampu melindungi masyarakat dari agresi apapun (kerajaan lain) sehingga karya sastra pun memiliki kecenderungan buat mengagungkan pihak kerajaan.
3. Bernilai budaya lokal, ciri-ciri ini tentu saja sangat inheren pada contoh karya sastra Melayu klasik karena budaya merupakan panduan sekaligus tujuan dari penciptaan karya sastra. Oleh karena itu, kita dapat mendapatkan pelukisan moral masyarakat pada zaman dahulu lewat cerita-cerita rakyat atau karya sastra klasik.
4. Disebarkan secara lisan, penyebaran tersebut dilakukan bukan semata-mata sebab zaman dahulu belum ditemukan alat-alat tulis, akan tetapi didasarkan pada alasan waktu.
Pergerakan zaman dahulu sangatlah lambat jika dibandingkan dengan perkembangan masyarakat di zaman modern ini. Oleh karena itu, penyebaran budaya dan cerita secara lisan akan lebih mempercepat tersebarnya cerita dibandingkan dengan menggunakan media tulisan. Selain itu, melalui budaya lisan, masyarakat juga mampu lebih intens memberikan nilai-nilai positif yang terdapat di dalam cerita sehingga pesan moral yang terdapat di dalamnya akan sampai kepada pendengar dengan lebih cepat dan efektif.
B. Jenis-Jenis Sastra Melayu Klasik
Terdapat beberapa jenis sastra melayu klasik, yaitu:
1. Dongeng merupakan suatu karya sastra yang berbentuk prosa cerita yang isinya hanya khayalan atau berupa fantasi pengarang. Dongeng ini dibagi menjadi:
- Fabel merupakan suatu cerita tentang kehidupan binatang yang berperilaku seperti manusia. Tujuannya agar menjadi teladan bagi kehidupan manusia pada umumnya.
- Parabel merupakan suatu cerita tentang binatang atau benda-benda lain yang mengandung nilai pendidikan. Cerita yang disampaikan merupakan kiasan tentang pelajaran kesusilaan dan keagamaan.
- Legenda merupakan suatu dongeng yang dihubungkan dengan keajaiban alam, atau kepercayaan mengenai terjadinya suatu tempat, dan setengahnya juga mengandung unsur sejarah.
- Mite merupakan suatu dongeng yang berhubungan dengan cerita jin, peri, roh halus, dewa, dan hal-hal yang berhubungan dengan animisme. Mite ini dipercaya masyarakat sebagai cerita yang benar-benar terjadi.
- Sage merupakan suatu dongeng yang mengandung unsur sejarah meskipun tidak seluruhnya. Sage ini juga tidak lepas dari imajinasi dan fantasi.
2. Hikayat merupakan kisah tentang kebesaran atau kepahlawanan orang-orang ternama, para raja, atau para orang suci di sekitar istana dengan segala kesaktian, keanehan, dan muzizat tokoh utamanya. Hikayat kadang juga mirip dengan cerita sejarah atau riwayat hidup seorang tokoh besar dalam sejarah.
3. Tambo merupakan suatu cerita sejarah, yaitu cerita tentang asal-usul keturunan raja atau tentang kejadian.
4. Wira cerita atau cerita kepahlawanan merupakan suatu cerita yang pelaku utamanya merupakan seorang ksatria atau pahlawan yang gagah berani, pandai berperang, dan selalu memperoleh kemenangan.
C. Unsur-Unsur Karya Sastra Melayu Klasik
Sama halnya dengan unsur-unsur yang terdapat dalam karya sastra modern, karya sastra Melayu klasik juga memiliki berbagai macam unsur intrinsik seperti tema, tokoh dan penokohan, latar, alur, sudut pandang, dan amanat.
1. Tema ialah gagasan primer yang mengusung hadirnya penceritaan dalam karya sastra. Kebanyakan tema yang diangkat dalam karya sastra Melayu klasik ialah berkisar tentang istana dan kerajaan. Namun, tema generik lainnya juga seringkali masuk ke dalam cerita.
2. Tokoh dan penokohan yang terdapat dalam sastra Melayu klasik biasanya tentang pangeran, anak miskin nan menjadi raja, binatang yang berbudi pekerti, dan lain-lain yang dianggap mampu mewakili sifat dan ciri manusia pada zaman dahulu.
3. Latar merupakan tempat, waktu, dan latar belakang sosial yang menjadi dasar penandaan terjadinya suatu peristiwa dalam cerita. Alur ialah struktur penceritaan dengan termin sosialisasi situasi, termin pemunculan masalah, termin pemuncakan masalah, termin penurunan konflik, dan termin penyelesaian ( ending ). Alur yang digunakan pun bermacam-macam ada yang bersifat maju, mundur, atau campuran.
4. Sudut pandang merupakan penyampaian bagaimana cerita tersebut disampaikan (aku, dia).
5. Amanat ialah pesan moral yang hendak disampaikan pengarang lewat karya sastra. Amanat tersebut bisa bercerita langsung, bisa pula implisit atau secara tak langsung lewat dialog, tokoh, atau unsur-unsur lain dalam contoh karya sastra Melayu klasik.
D. Nilai-Nilai Karya Sastra Melayu Klasik
Nilai-nilai tersebut dapat ditemukan apabila membaca dan memahami karya sastra Melayu klasik tersebut.
1. Nilai Budaya yakni nilai yang berhubungan dengan budaya. Nilai budaya yang dapat kita temukan dari karya sastra Melayu klasik pasti berhubungan dengan budaya Melayu.
2. Nilai Moral adalah nilai yang berhubungan dengan masalah moral. Nilai moral dalam karya sastra melayu klasikpasti dipengaruhi oleh adat yang berlaku di suku Melayu.
3. Nilai Agama adalah nilai yang berhubungan dengan masalah keagamaan. Adapun nilai agama ini dipengaruhi oleh ajaran agama Islam yang dianut sebagian besar bangsa Melayu
4. Nilai Pendidikan adalah nilai yang berhubungan dengan proses pengubahan sikap dan tingkah laku seseorang / kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan.
5. Nilai Psikologis adalah nilai yang berhubungan dengan sifat kejiwa manusia.
E. Contoh Karya Sastra Melayu Klasik
-Hikayat Patani-
Hatta antara berapa tahun lamanya baginda diatas takhta kerajaan itu, maka baginda pun berputera tiga orang, dan yang tua laki-laki bernama Kerub Picai Paina dan yang tengah perempuan bernama Tunku Mahajai dan bungsu laki-laki bernama Mahacai Pailang. Hatta berapa lamanya maka Paya Tu Naqpa pun sakit merkah segala tubuhnya, dan beberapa segala hora dan tabib mengobati tiada juga sembuh. Maka baginda pun memberi titah kepada bendahara suruh memalu canang pada segala daerah negeri: barang siapa bercakap mengobati baginda, jikalau sembuh, raja ambilkan menantu. Arkian maka baginda pun sangat kesakitan duduk tiada ikrar. Maka bendahara pun segera bermohon keluar duduk di balairung menyuruhkan temenggung memalu canang, ikut seperti titah baginda itu. Arkian maka temenggung pun segera bermohon keluar menyuruhkan orangnya memalu canang. Hatta maka canang itu pun dipalu oranglah pada segerap daerah negeri itu, tujuh hari lamanya, maka seorang pun tiada bercakap. Maka orang yang memalu canang itu pun berjalan lalu di luar kampung orang Pasai yang duduk di biara Kampung Pasai itu. Syahdan antara itu ada seorang Pasai bernama Syaikh Sa’id. Setelah didengarnya oleh Syaikh Sa’id seru orang yang memalu canang itu, maka Syaikh Sa’id pun keluar berdiri di pintu kampungnya. Maka orang yang memalu canang itu pun lalulah hampir pintu Syaikh Sa’id itu. Maka kata Syaikh Sa’id: “Apa kerja tuan-tuan memalu canang ini?” Maka kata penghulu canang itu: “Tiadakan tuan hamba tahu akan raja didalam negeri ini sakit merkah segala tubuhnya? Berapa segala hora dan tabib mengobati dia tiada juga mau sembuh; jangankan sembuh, makin sangat pula sakitnya.
Dari karena itulah maka titah raja menyuruh memalu canang ini, maka barang siapa bercakap mengobati raja itu, jikalau sembuh penyakitnya, diambil raja akan menantu.” Maka kata Syaikh Sa’id: “Kembalilah sembahkan kepada raja, yang jadi menantu raja itu hamba tiada mau, dan jikalau mau raja masuk agama Islam, hambalah cakap mengobat penyakit raja itu.” Setelah didengar oleh penghulu canang itu, maka ia pun segera kembali bersembahkan kepada temenggung seperti kata Syaikh Sa’id itu. Arkian maka temenggung pun dengan segeranya Pergi maklumkan kepada bendahara seperti kata penghulu canang itu. Setelah bendahara menengar kata temenggung itu, maka bendahara pun masuk menghadap baginda menyembahkan seperti kata tememggung itu. Maka titah baginda: “Jikalau demikian, segeralah bendahara suruh panggil orang Pasai itu.” Arkian maka Syaikh Sa’id pun dipanggil oranglah. Hatta maka Syaikh Sa’id pun datanglah menghadap raja. Maka titah raja pada Syaikh Sa’id: “Sungguhkah tuanhamba bercakap mengobati penyakit hamba ini?” Maka sembah Syaikh Sa’id: “Jikalau Tuanku masuk agama Islam, hambalah mengobat penyakit Duli Syah ‘Alam itu.” Maka titah raja: “Jikalau sembuh penyakit hamba ini, barang kata tuanhamba itu hamba turutlah.” Setelah sudah Syaikh Sa’id berjanji dengan raja itu, maka Syaikh Sa’id pun duduklah mengobat raja itu. Ada tujuh hari lamanya, maka raja pun dapatlah keluar dihadap oleh menteri hulubalang sekalian. Arkian maka Syaikh Sa’id pun bermohonlah kepada baginda, lalu kembali ke rumahya. Antara berapa hari lamanya maka penyakit raja itu pun sembohlah. Maka raja pun mungkirlah ia akan janjinya dengan Syaikh Sa’id itu. Hatta ada dua tahun selamanya, maka raja pun sakit pula, seperti dahulu itu juga penyakitnya. Maka Syaikh Sa’id pun disuruh panggil pula oleh raja. Telah Syaikh Sa’id datang, maka titah baginda: “Tuan obatlah penyakit hamba ini. Jikalau sembuh penyakit hamba sekali ini, bahwa barang kata tuanhamba itu tiadalah hamba lalui lagi.”
Maka kata Syaikh Sa’id: “Sungguh-sungguh janji Tuanku dengan patik, maka patik mau mengobati Duli Tuanku. Jikalau tiada sungguh seperti titah Duli Tuanku ini, tiadalah patik mau mengobat dia”. Setelah didengar raja sembah Syaikh Sa’id itu demikian, maka raja pun berteguh-teguhan janjilah dengan Syaikh Sa’id. Arkian maka Syaikh Sa’id pun duduklah mengobat raja itu. Ada lima hari maka Syaikh Sa’id pun bermohonlah pada raja kembali kerumahnya. Hatta antara tengah bulan lamanya, maka penyakit raja itu pun sembuhlah. Syahdan raja pula mungkir akan janjinya dengan Syaikh Sa’id itu. Hatta antara setahun lamanya maka raja itu pun sakit pula, terlebih dari pada sakit yang dahulu itu, dan duduk pun tiada dapat karar barang seketika. Maka Syaikh Sa’id pun disuruh panggil oleh raja pula. Maka kata Syaikh Sa’id pada hamba raja itu: “Tuanhamba pergilah sembahkan kebawah Duli Raja, tiada hamba mau mengobati raja itu lagi, karena janji raja dengan hamba tiada sungguh.” Hatta maka (hamba)raja itu pun kembalilah, maka segala kata Syaikh Sa’id itu semuanya dipersembahkannya kepada raja. Maka titah raja kepada bentara: “Pergilah engkau panggil orang Pasai itu, engkau katakan padanya jikalau sembuh penyakitku sekali ini, tiadalah kuubahkan janjiku dengan dia itu. Demi berhala yang ku sembah ini, jikalau aku mengubahkan janjiku ini, janganlah sembuh penyakitku ini selama-lamanya.” Arkian maka bentara pun pergilah menjunjungkan segala titah raja itu kepada Syaikh Sa’id. Maka kata Syaikh Sa’id: “Baiklah berhala tuan raja itulah akan syaksinya hamba: jikalau lain kalanya tiadalah hamba mau mengobat raja itu.” Hatta maka Syaikh Sa’id pun pergilah mengadap raja. Setelah Syaikh Sa’id datang, maka titah raja: “Tuan obatilah penyakit hamba sekali ini. Jikalau sembuh penyakit hamba ini, barang yang tuan kata itu bahwa sesungguhnya tiadalah hamba lalui lagi.” Maka kata Syaikh Sa’id: “Baiklah, biarlah patik obat penyakit Duli Tuanku. Jikalau sudah sembuh Duli Tuanku tiada masuk agama Islam sekali ini juga, jika datang penyakit Tuanku kemudian harinya, jika Duli Tuanku bunuh patik sekalipun, ridhalah patik; akan mengobat penyakit Tuanku itu, patik mohonlah.” Maka titah raja: “Baiklah, mana kata tuan itu, hamba turutlah.” Setelah itu maka raja pun diobat pula oleh Syaikh Sa’id itu. Hatta antara tiga hari lamanya maka Syaikh Sa’id pun bermohon pada raja, kembali kerumahnya.
Hatta antara dua puluh hari lamanya maka penyakit raja itu pun sembuhlah. Sebermula ada sebulan selangnya, maka pada suatu hari raja semayam di balairung diadap oleh segala menteri hulubalang dan rakyat sekalian. Maka titah baginda: “Hai segala menteri hulubalangku, apa bicara kamu sekalian, karena aku hendak mengikut agama Islam?” Maka sembah sekalian mereka itu: “Daulat Tuanku, mana titah patik sekalian junjung, karena patik sekalian ini hamba pada kebawah Duli Yang Mahamulia.” Hatta setelah raja mendengar sembah segala menteri hulubalangnya itu, maka baginda pun terlalulah sukacita, lalu berangkat masuk ke istana. Setelah datanglah pada keesokan harinya, maka baginda pun menitahkan bentara kanan pergi memanggil Syaikh Sa’id, serta bertitah pada bendahara suruh menghimpunkan segala menteri hulubalang dan rakyat sekalian. Maka baginda pun semayam di balairung diadap oleh rakyat sekalian. Pada tatkala itu Syaikh Sa’id pun datanglah menghadap raja diiringkan oleh bentara. Setelah Syaikh Sa’id itu datang maka raja pun sangatlah memuliakan Syaikh Sa’id itu. Maka titah baginda: “Adapun hamba memanggil tuanhamba ini, karena janji hamba dengan tuanhamba ini hendak masuk agama Islam itulah.” Setelah Syaikh Sa’id mendengar titah raja demikian itu, maka Syaikh Sa’id pun segera mengucup tangan raja itu, lalu dijunjungnya. Sudah itu maka diajarkanlah kalimat syahadat oleh syaikh, demikian bunyinya: “Asyhadu an la ilâha illa l-Lâh wa asyhadu anna Muhammadan rasulu lLâh.” Maka raja pun kararlah membawa agama Islam.
Setelah sudah raja mengucap kalimat syahadat itu, maka Syaikh Sa’id pun mengajarkan kalimat syahadat kepada segala menteri hulubalang dan rakyat yang ada hadir itu pula. Telah selesailah Syaikh Sa’id dari pada mengajarkan kalimat syahadat pada segala mereka itu, maka sembah Syaikh Sa’id: “Ya Tuanku Syah ‘Alam, baiklah Tuanku bernama mengikut nama Islam, karena Tuanku sudah membawa agama Islam, supaya bertambah berkat Duli Tuanku beroleh syafa’at dari Muhammad rasul Allah, salla lLâhu alaihi wa sallama diakirat jemah.” Maka titah baginda: “Jikalau demikian, tuanhambalah memberi nama akan hamba.” Arkian maka raja itu pun diberi nama oleh Syaikh Sa’id, Sultan Isma’il Syah Zillullâh Fi l’Alam. Setelah sudah Syaikh Sa’id memberi nama akan raja itu, maka titah baginda: “Anak hamba ketiga itu baiklah tuanhamba beri nama sekali, supaya sempurnalah hamba membawa agama Islam.” Maka kembali Syaikh Sa’id: “Barang bertambah kiranya daulat sa’adat Duli Yang Mahamulia, hingga datang kepada kesudahan zaman paduka anakanda dan cucunda Duli Yang Mahamulia karar sentosa diatas takhta kerajaan di negeri Patani Dasussalam.” Arkian maka Syaikh Sa’id pun memberi nama akan paduka anakanda baginda yang tua itu Sultan Mudhaffar Syah dan yang tengah perempuan itu dinamainya Sitti ‘A’isyah dan yang bungsu laki-laki dinamainya Sultan Manzur Syah. Setelah sudah Syaikh Sa’id memberi nama akan anakanda baginda itu, maka baginda pun mengaruniai akan Syaikh Sa’id itu terlalu banyak dari pada emas perak dan kain yang indah-indah. Hatta maka Syaikh Sa’id pun [pun] bermohonlah pada raja, lalu kembali ke rumahnya di biara Kampung Pasai. Syahdan pada zaman itu segala rakyat yang di dalam negeri juga yang membawa agama Islam, dan segala rakyat yang diluar daerah negeri seorang pun tiada masuk Islam. Adapun raja itu sungguhpun ia membawa agama Islam, yang menyembah berhala dan makan babi itu juga yang ditinggalkan; lain dari pada itu segala pekerjaan kafir itu suatu pun tiada diubahnya.
Referensi:
http://www.mediasiswa.com/sastra-melayu-klasik/#. Diunduh 15 Januari 2017.
http://www.binasyifa.com/089/31/27/unsur-unsur-karya-sastra-melayu-klasik.htm. Diunduh 15 Januari 2017.
http://www.pelajaran.click/2016/09/jenis-jenis-sastra-melayu-klasik.html. Diunduh 20 Januari 2017.
http://www.dosenpendidikan.com/penjelasan-karya-sastra-melayu-klasik-beserta-ciri-jenis-nilai-dan-contohnya/. Diunduh 20 Januari 2017.


0 komentar:
Posting Komentar