Home » , » Makalah “Analisis Unsur-unsur Intrinsik Cerpen ‘Diruangi Hujan’ Karya M. Irfan Hidayatullah"

Makalah “Analisis Unsur-unsur Intrinsik Cerpen ‘Diruangi Hujan’ Karya M. Irfan Hidayatullah"

Makalah ini berisi tentang hasil analisis cerita pendek (cerpen) berjudul "Diruangi hujan". Cerpen itu merupakan karya Muhammad Irfan Hidayatullah.  Pendekatan yang digunakan adalah struktural. Analisis struktural sastra disebut juga pendekatan objektif dan menganalisis unsur intrinsiknya. Unsur intrinsik dalam makalah ini mencakup tema, latar, alur, penokohan, dan sudut pandang.

A. Data Cerpen “Diruangi Hujan” 

Hujan sudah hampir satu jam. Deras. Kilat bersusulan dengan geledeg. Tanah seperti ditikam-tikam. Setiap tikaman memuncratkan darah coklat. Jalanan kampung kemudian tergenang, menuju banjir. Ini pagi sebenarnya.
Ya, ini pagi sebenarnya, tapi hujan itu sempurna menutupinya. Ibarat tirai penutup kenyataan. Dan kenyataan adalah ruang di balik tirai itu. Ruang yang betul-betul terpisah denganku saat ini. Tapi ada baiknya. Setidaknya hujan membantuku menghilangkan sekat waktu.

Waktu yang terus memburu. Memburuku dengan pisau mengilat di tangannya. Aku seperti tanah yang ditikam oleh hujan itu selama ini. Namun, tidak untuk saat ini karena hujan yang menikam-nikam tanah itu membantuku.
Ini pagi sebenarnya, tapi kelam. Karena hujan itulah pagi ini jadi kelam. Bahkan jadi mencekam. Tak ada seorang pun keluar rumah. Bahkan mungkin semua meneruskan tidur mereka. Bergabung lagi dengan mimpi-mimpi mereka. Namun, tidak denganku karena aku sepertinya harus merayakan terbunuhnya waktu.
Hujan sudah hampir enam jam. Masih deras. Aku masih merasakan betapa waktu telah kalah dan terbunuh. Mungkin sekarang harusnya sudah siang. Mungkin harusnya sekarang seperti siang kemarin saat aku terpanggang waktu, terbungkus debu. Saat aku tertampar-tampar kesempatan. Saat peluh telah menyatu baju melekatkannya pada tubuh ringkih. Saat aku tersaruk pada putus asa.
"Ini dia sampah!"
"Lebih busuk dari sampah!"
"Tak berguna!"
"Kerja, kek... ngapain, kek."
Hujan sudah hampir enam jam dan aku semakin yakin. Sementara itu, sepertinya yang tertidur sudah bangun. Mereka kini ramai menyelamatkan rumah masing-masing. Rumah yang mulai digenangi air. Rumah yang disatroni air. Rumah yang dikuasai air. Mereka seakan telah tak punya kuasa. Mereka hanya berusaha. Mereka terus mengeduk. Mereka berusaha membendung. Mereka bahkan berusaha berteriak-teriak minta tolong. Hujan terus berlangsung. Deras yang konstan diselingi geledeg.
Begitu pun rumahku, tepatnya, gubukku, telah sempurna dimasuki air dari berbagai jalan. Bocoran dan rembesan telah bermuara di ruang tempatku duduk mematung. Pada tanganku sebilah pisau. Aku telah mengasahnya hampir seminggu. Air itu semula hanya aliran kecil. Semula hanya ngeclak sesekali. Dan aku membiarkannya menjadi bah. Dan aku mempersilahkannya menjadi hujan pada hujan pada langit atapku yang bergayut dan kelabu. Suara-suara ribut di luar sana tak membuatku bergeming. Aku betul-betul telah bulat memasuki sunyi. Ya, aku akan menyempurnakan sunyi duniaku. Setelah satu persatu manusia yang kukasihi luruh seperti kelopak bunga terbadai hujan deras, layaknya saat ini.

Istriku adalah kelopak terakhir yang gugur. Ia meninggalkanku saat aku hampir sebulan memasuki labirin itu. Saat aku berputar-putar pada jalan tak berujung. Saat aku mencari-cari ruh anakku yang direnggut dari kebahagiaan sederhana kami. Tabrak lari!
Suamiku.
Aku pergi. Kita hidup sendiri-sendiri saja. Jika telah siap, pinang aku kembali! Tapi jangan cari diriku sebelum kau menemukanmu.
Istrimu.

Surat istriku di hadapanku sebenarnya, tapi aku tak bisa membacanya lagi. Aliran listrik terputus. Aku hanya bisa mengingatnya. Kata demi kata.

Tiba-tiba tetangga sebelahku berteriak, Azan. Azan dengan sisa-sisa harapan mereka karena air telah menenggelamkan hampir setengah meter, padahal perkampungan ini termasuk berada di dataran agak tinggi. Kini tubuhku pun mulai terendam, tapi pada tanganku sebilah pisau.

"Kau mau apakan aku?"
"Aku mau memakaimu."
"Untuk apa?"
"Untuk membunuhku."
"Pada apa?"
"Pada urat leherku."
"Aku ngak sudi."
"Bukankah kau menginginkanku juga?"
"Enak saja."
"Kau berkilat ketika terbayang olehmu urat leherku?" *)
"Aku berkilat karena cahaya-Nya."
"Ha...ha..ha..ha, antar aku menuju cahaya-Nya, kalau begitu?"
"Kau tidak akan menghampiri Sang Mahacahaya karena kau kini takdicahayai-Nya."
"Ha..ha... pisau sok tahu. Aku tak akan basa-basi lagi."

Aku pun mengantar pisau itu pada urat leherku sendiri. Namun, pisau itu menolak. Aku berkeras. Dengan sekuat tenaga kutarik pisau itu menuju leherku, tapi tetap pisau itu pun bertahan. Bahkan tenaganya begitu kuat. Aku pun memakai dua tanganku untuk menariknya. Entahlah, aku tak habis pikir. Semakin aku berusaha mengeluarkan tenaga semakin kuat pula pisau itu bertahan.Sementara itu, di luar hujan semakin ramai. Ya, suara hujan, suara geledeg, suara azan tetanggaku, dan suara-suara orang meninggalkan rumah-rumah mereka.

Aku justru tengah berjuang. Aku kini bahkan bergumul dengan pisau itu di lantai, di genangan air. Aku ditenggelamkannya agar aku sudi melepaskannya. Jelas aku tak sudi, aku balik membenamkannya ke banjir itu dengan harapan ia akan kehabisan tenaga.

Namun, harapanku tak jua tercapai. Kami sepertinya seimbang. Kami terus bergumul sampai napasku betul-betul habis. Tapi aku takakan melepaskannya. Ini harapan terakhirku untuk menyempurnakan sunyi.

Lelah amat sangat menerpaku. Aku seperti tercekik oleh rasa itu, tapi aku tak mau semua berakhir dalam posisi kalah oleh mata pisau itu. Namun, aku tak mampu. Kini, aku hanya mampu berteriak.

"Aaaaaarrrrrgh... lepaskan aku pisau sialan. Aku telah mengasahmu bukan untuk sebuah pembangkangan."
Senyap. Tapi beberapa saat kemudian aku mendengar tetanggaku berazan kembali. Terus terang aku bosan dengan suara itu.

"Hai,... Juned. Diam kau."

Lalu suara-suara sibuk di luar pun semakin jelas. Kini aku merasakan hening itu pecah. Aku seperti dihubungkan kembali ke dunia bising. Dunia yang tak berjarak dengan diriku sendiri. Dunia yang selama ini justru berusaha kuhindari.

"Biar aku yang menghentikannya."
Tiba-tiba suara merdu itu hadir.
"Istriku?"
"Ya."
"Kau?"
"Ya, aku istrimu."
"Kau...?"
"Ya, aku datang untukmu."

Lalu istriku menghampiriku. Tangannya meraih pisau di tanganku. Aku heran, saat tiba-tiba pisau itu tak melawan. Ia pasrah di tangan lembut istriku. Lalu istriku pun meraihku. Mengangkatku dari rendaman air banjir itu. Aku betul-betul diangkatnya. Saat dia tersenyum sepertinya aku kembali pada diriku sendiri.

"Sudah lepaskan saja." Ujar istriku.

Aku tak mengerti dengan ucapannya.

"Siapa yang harus aku lepaskan?"
"Bukan kamu."

Lalu istriku mengusap mukaku dengan kemesraan yang memang telah melekat padanya. Kemesraan yang menghilang selama ini. Tiba-tiba saja duniaku jadi terang. Hujan berhenti, ruang tempatku berdiri dimasuki cahaya serentak, air banjir yang menggenangi lantai tiba-tiba surut.

Semua menjadi terang kini. Dan, di sekelilingku tetangga-tetanggakku berdiri dengan peluh. Di antara mereka ada Juned yang terus menerus Azan.


B. Pendekatan Struktural 


Analisis cerpen “diruangi hujan” ini dengan menggu, Fananie (2000: 112) mengemukakan bahwa pendekatan objektif adalah pendekatan yang mendasarkan pada suatu karya sastra secara keseluruhan. Pendekatan yang dinilai dari eksistensi sastra itu sendiri berdasarkan konveni sastra yang berlaku.
Konvensi tersebut misalnya, aspek-aspek instrinsik sastra yang meliputi kebulatan makna, diksi, rima, struktur kalimat, tema, plot (setting), karakter. Yang jelas, penilaian yang diberikan dilihat dari sejauh mana kekuatan atau nilai karya sastra tersebut berdasarkan keharmonisan semua unsur pembentuknya.
Pada aspek ini semua karya sastra baru bisa disebut bernilai apabila masing-masing unsur pembentuknya (unsur intrinsiknya) yang tercermin dalam strukturnya, seperti tema, karakter, plot (setting). Bahasa merupakan satu kesatuan yang utuh. Kesatuan yang mencerminkan satu harmonisasi sebagaimana yang dituntut dalam kriteria estetik. Sebuah struktur mempunyai tiga sifat yaitu totalitas, trasformasi, dan pengaturan diri.

C. Analisis Cerpen  “Diruangi Hujan”

1. Tema 
Tema merupakan dasar cerita atau gagasan umum dari sebuah cerita (Nurgiyantoro, 2009: 70). Stanton (via Nurgiyantoro, 2009: 70) menjelaskan tema  dalam suatu cerita akan terdapat satu tema pokok dan sub-subtema. Pembaca harus mampu menentukan tema pokok dari suatu cerita karya sastra. Tema pokok adalah tema yang dapat memenuhi atau mencakup isi dari keseluruhan cerita. Tema pokok yang merupakan makna keseluruhan cerita tidak tersembunyi, namun terhalangi dengan cerita-cerita yang mendukung tema tersebut.

Tema atau pokok persoalan cerpen “diruangi hujan” sesungguhnya terletak pada persoalan “aku” yang ditinggal pergi oleh istrinya sehinga “aku” hampir bunuh diri. Gambaran terletak pada:
“Suamiku.
aku pergi. Kita hidup sendiri-sendiri saja. Jika telah siap, pinang aku kembali! Tapi jangan cari diriku sebelum kau menemukanmu. Istrimu.”
Namun kemudian istrinya kembali, tergambar pada
“Lalu istriku mengusap muk aku dengan kemesraan yang memang telah melekat padanya. Kemesraan yang menghilang selama ini. Tiba-tiba saja duniaku jadi terang. Hujan berhenti, ruang tempatku berdiri dimasuki cahaya serentak, air banjir yang menggenangi lantai tiba-tiba surut”

Dengan demikian, jika kita buat kesimpulan atas fakta-fakta di atas maka tema cerpen ini adalah sikap seorang istri yang masih mencintai suaminya.

2. Latar

Latar menurut Abrams (1981: 175 via Nurgiantoro, 2009: 216) adalah landasan atau tumpuan yang memiliki pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Siswandarti (2009: 44) juga menegaskan bahwa latar adalah pelukisan tempat, waktu, dan situasi atau suasana terjadinya suatu peristiwa. Berdasarkan pengertian tersebut latar dapat disimpulkan sebagai pelukisan tempat, waktu, dan suasana pada suatu peristiwa yang ada di cerita fiksi.

Dalam suatu cerita latar dibentuk melalui segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya suatu peristiwa. Latar ini ada tiga macam, yaitu: latar tempat; latar waktu; dan latar sosial.

a) Latar tempat
Latar tempat yang ada dalam cerpen ini jelas disebutkan oleh pengarangnya yaitu di rumah “aku”.
“Begitu pun rumahku, tepatnya, gubukku, telah sempurna dimasuki air dari berbagai jalan. Bocoran dan rembesan telah bermuara di ruang tempatku duduk mematung. Pada tanganku sebilah pisau. “aku” telah mengasahnya hampir seminggu. Air itu semula hanya aliran kecil. Semula hanya ngeclak sesekali. Dan “aku” membiarkannya menjadi bah. Dan “aku” mempersilahkannya menjadi hujan pada hujan pada langit atapku yang bergayut dan kelabu.”

b) Latar waktu
Cerita ini terjadi pada waktu pagi hari.
“Ya, ini pagi sebenarnya, tapi hujan itu sempurna menutupinya. Ibarat tirai penutup kenyataan. Dan kenyataan adalah ruang di balik tirai itu. Ruang yang betul-betul terpisah denganku saat ini. Tapi ada baiknya. Setidaknya hujan membantuku menghilangkan sekat waktu”.
c) Latar Sosial
Di dalam latar ini umumnya menggambarkan keadaan masyarakat, kelompok-kelompok sosial dan sikapnya, kebiasaannya, cara hidup, dan bahasa. Di dalam cerpen ini latar sosial digambarkan sebagai berikut :
“Tiba-tiba tetangga sebelahku berteriak, Azan. Azan dengan sisa-sisa harapan mereka karena air telah menenggelamkan hampir setengah meter, padahal perkampungan ini termasuk berada di dataran agak tinggi. Kini tubuhku pun mulai terendam, tapi pada tanganku sebilah pisau.” Dan “Semua menjadi terang kini. Dan, di sekelilingku tetangga-tetanggakku berdiri dengan peluh. Di antara mereka ada Juned yang terus menerus Azan.”

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa cerita ini berlatar sosial keagamaan yang identik dengan Islam.

3. Alur (plot)
Alur menurut Suminto A. Sayuti (2000:31) diartikan sebagai peristiwa-peristiwa yang diceritakan dengan panjang lebar dalam suatu rangkaian tertentu dan berdasarkan hubungan-hubungan konsolitas itu memiliki struktur. Strukturnya itu terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian awal, bagian tengah, dan bagian akhir.
Alur dalam cerpen ini menggunakan alur maju karena diceritakan secara runtut dari awal peristiwa hingga akhir.
4. penokohan
Penokohan dalam novel adalah unsur yang sama pentingnya dengan unsur-unsur yang lain. Penokohan adalah teknik bagaimana pengarang menampilkan tokoh-tokoh dalam cerita sehingga dapat diketahui karakter atau sifat para tokoh (Siswandarti, 2009: 44). Unsur penokohan mencakup pada tokoh, perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam cerita (Nurgiyantoro, 2009: 166).

Dalam cerpen “diruangi hujan”  yang dimaksud dengan penokohan yakni bagaimana pengarang menampilkan peril”aku” tokoh-tokohnya berikut wataknya. dalam cerita ini terdapat  dua tokoh yaitu: ““aku” (seorang suami), istri “aku”, dan “Juned”.
Tokoh “aku” gampang putus asa tergambar pada
“aku pun mengantar pisau itu pada urat leherku sendiri. Namun, pisau itu menolak. Aku berkeras. Dengan sekuat tenaga kutarik pisau itu menuju leherku, tapi tetap pisau itu pun bertahan. Bahkan tenaganya begitu kuat. aku pun memakai dua tanganku untuk menariknya. Entahlah, aku tak habis pikir. Semakin aku berusaha mengeluarkan tenaga semakin kuat pula pisau itu bertahan.Sementara itu, di luar hujan semakin ramai. Ya, suara hujan, suara geledeg, suara azan tetangg aku, dan suara-suara orang meninggalkan rumah-rumah mereka.”
Istri “aku” perwatakannya tidak teguh pendiriannya tergambar pada kutipan berikut.
“Suamiku. aku pergi. Kita hidup sendiri-sendiri saja. Jika telah siap, pinang aku kembali! Tapi jangan cari diriku sebelum kau menemukanmu.
Istrimu.” Dan “Lalu istriku menghampiriku. Tangannya meraih pisau di tanganku. “aku” heran, saat tiba-tiba pisau itu tak melawan. Ia pasrah di tangan lembut istriku. Lalu istriku pun meraihku. Mengangkatku dari rendaman air banjir itu. “aku” betul-betul diangkatnya. Saat dia tersenyum sepertinya aku kembali pada diriku sendiri.”

Juned berperan sebagai tukang azan namun wataknya tidak tergambar dalam cerita karena kehadirannya hanya sekali.
 “Semua menjadi terang kini. Dan, di sekelilingku tetangga-tetanggakku berdiri dengan peluh. Di antara mereka ada Juned yang terus menerus Azan.”

5. Sudut pandang
Nurgiyantoro (2009: 246) berpendapat bahwa sudut pandang adalah cara penyajian cerita, peristiwa-peristiwa, dan tindakan-tindakan pada karya fiksi berdasarkan posisi pengarang di dalam cerita. Siswandarti (2009: 44) juga sependapat bahwa sudut pandang adalah posisi pengarang dalam cerita fiksi. Sudut pandang menurut Nurgiyantoro (2009: 256) dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sudut pandang persona ketiga: dia dan sudut pandang persona pertama: aku. Berikut penjabaran tentang sudut pandang tersebut.

Cerpen “diruangi hujan”   menggunakan sudut pandang orang pertama tunggal. Hal itu tergambar dalam kutipan berikut.
“Aku justru tengah berjuang. aku kini bahkan bergumul dengan pisau itu di lantai, di genangan air. Aku ditenggelamkannya agar aku sudi melepaskannya. Jelas aku tak sudi, aku balik membenamkannya ke banjir itu dengan harapan ia akan kehabisan tenaga.
Namun, harapanku tak jua tercapai. Kami sepertinya seimbang. Kami terus bergumul sampai napasku betul-betul habis. Tapi “aku” takakan melepaskannya. Ini harapan terakhirku untuk menyempurnakan sunyi.” .


Referensi:

Nurgiyantoro, Burhan. 2009. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

http://ceritaindonesia.angelfire.com/story_3/kumpulan-cerita-pendek-diruangi-hujan.html (Diakses 10 Januari 2018)

http://menurutahli.blogspot.co.id/2015/11/unsur-unsur-intrinsik-cerpen.html
(Diakses 10 Januari 2018)

http://dedikbaihaqi.blogspot.com/2015/11/pengertian-unsur-intrinsik-dan-ekstrinsik-menurut-para-ahli-dan-daftar-pustakanya.html (Diakses 10 Januari 2018)




0 komentar:

Posting Komentar