Makalah Hukum Lingkungan dan Kehutanan “Kebijakan Lingkungan Nasional”

Makalah ini membahas tentang pengertian dari kebijakan pengelolaan lingkungan hidup, kebijakan nasional dalam pengelolaan lingkungan hidup,  prinsip-prinsip pembangunan yang berwawasan lingkungan, serta bagaimana pengelolaan lingkungan hidup dan otonomi daerah.



BAB I
 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kebijakan lingkungan adalah setiap tindakan yang sengaja diambil [atau tidak diambil] untuk mengelola kegiatan manusia dengan maksud untuk mencegah atau mengurangi efek yang merugikan pada sumber daya alam dan memastikan bahwa buatan manusia pada perubahan lingkungan tidak memiliki efek berbahaya pada manusia.

Pentingnya pelestarian lingkungan hidup telah diperkuat dengan ditetapkannya amandemen UUD 1945 pasal 33 ayat 4 yang berbunyi: ”Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”. Amandemen Pasal 33 UUD 1945 tersebut, secara tegas mengkaitkan antara pembangunan ekonomi nasional dengan lingkungan hidup. Jadi prinsip dasar pembangunan yang dianut sekarang ini harus dapat menyelaraskan pembangunan ekonomi, sosial, maupun lingkungan secara baik dan harmonis.

Falsafah dan makna yang terkandung dalam pasal 33 UUD 45 sungguh amat dalam, yaitu adanya filosofi “ transgenerasi ”. Bumi, air dan kekayaan alam yang menjadi dasar pembangunan bangsa Indonesia untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat hanya akan tercapai apabila dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Jaminan kekayaan akan dapat bermanfaat bagi generasi masa kini dan dapat dinikmati generasi mendatang apabila kekayaan alam tidak mengalami kerusakan dan pencemaran yang diakibatkan oleh eksploitasi dan eksplorasi yang berlebihan dan tidak terencana serta melanggar ketentuan yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Dalam pelaksanaan pembangunan di Indonesia, telah didukung oleh peraturan perundang-undangan sektor seperti misalnya bidang perindustrian, kehutanan, pertambangan, pertanian, pengairan, perhubungan dan kepariwisataan, yang didalamnya telah mengakomodir prinsip-prinsip kehati-hatian dalam memanfaatkan sumber daya alam. Namun demikian, dalam pelaksanaannya masih banyak menimbulkan persoalan kerusakan dan pencemaran. Untuk itu, diperlukan suatu perlindungan bagi sumber daya alam agar tidak terus menerus mengalami degradasi akibat pelaksanaan kegiatan dan atau usaha oleh sektor tersebut. Tekanan kerusakan dan pencemaran terhadap sumber daya alam, tidak hanya berasal dari kegiatan dan atau usaha skala besar, tetapi juga berasal dari kegiatan sehari-hari orang-perorangan, rumah tangga dan kegiatan skala kecil lainnya. Undang – Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup pada dasarnya mengatur dan melaksanakan proteksi atau perlindungan terhadap sumber daya alam, yaitu udara, tanah, air, pesisir dan laut, keanekaragaman hayati, pedesaan, perkotaan, lingkungan sosial agar tidak mengalami kerusakan dan atau pencemaran dari pelaksanaan kegiatan dan atau usaha, baik skala kecil maupun skala besar. Jaminan atas lingkungan hidup yang baik dan sehat bagi setiap orang, untuk generasi sekarang maupun bagi generasi yang akan datang, merupakan makna yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Seiring dengan waktu, dibentuklah UU No 32 Tahun 2004 sebagai pengganti UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang merubah paradigma pembangunan yang bersifat sentralistik ke desentralisasi kepada Pemerintah Propinsi dan Kota/kabupaten. Ada suatu filosofi yang hendak dicapai dalam konteks pengelolaan sumber daya alam didasarkan pada prinsip Otonomi Daerah, yaitu bahwa masyarakat di daerah harus mendapatkan manfaat yang nyata dari keberadaan sumber daya alam di daerahnya. Hal ini hanya dapat terwujud apabila tanggung jawab pengelolaaan lingkungan hidup berdasarkan prinsip otonomi daerah dapat dilaksanakan oleh seluruh komponen Pemerintah Daerah, masyarakat dan dunia usaha.

B. Rumusan Masalah
1) Apa pengertian dari kebijakan pengelolaan lingkungan hidup ?
2) Apa kebijakan nasional dalam pengelolaan lingkungan hidup ?
3) Apa prinsip-prinsip pembangunan yang berwawasan lingkungan ?
4) Bagaimana pengelolaan lingkungan hidup dan otonomi daerah ?


C. Tujuan Penulisan
1) Untuk mengetahui pengertian dari kebijakan pengelolaan lingkungan hidup.
2) Untuk mengetahui kebijakan nasional dalam pengelolaan lingkungan hidup.
3) Untuk mengetahui prinsip-prinsip pembangunan yang berwawasan lingkungan.
4) Untuk mengetahui pengelolaan lingkungan hidup dan otonomi daerah.


D. Manfaat
Adapun manfaat dari penyusunan makalah ini untuk melengkapi tugas mata kuliah yang diberikan selain itu juga diharapkan dapat menambah wawasan bagi pembaca terutama bagi penyusun, serta dapat menambah wawasan mengenai kebijakan lingkungan yang ada di Indonesia.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi  Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Menurut Budi Winarno policy atau kebijakan dianggap sebagai perbuatan atau tindakan pemerintah yang berada dalam ruang publik dalam bentuk suatu aturan. Sedangkan Esmi Warassih dan Satjipto Rahardjo cenderung mengartikan kata policy sebagai kebijaksanaan. Menurut pendapat Esmi Warassih bahwa dalam suatu policy itu seharusnya mengandung sesuatu yang bijaksana atau mengandung suatu nilai (value) dan moral yang harus dijunjung tinggi oleh pengambil atau pembuat kebijaksanaan.

Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan perilakuknya, yang mempengaruhi kelangsungan kehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya (UU. No. 23/1997).

Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup. SDA seperti air, udara, tanah, hutan dan lainnya merupakan sumber daya yang penting bagi kelangsungan mahkluk hidup termasuk manusia. Bahkan, SDA ini tidak hanya mencukupi kebutuhan hidup manusia, tetapi juga dapat memberikan kontribusi besar terhadap kesejahteraan yang lebih luas. Namun, semua itu bergantung pada bagaimana pengelolaan SDA tersebut, karena pengelolaan yang buruk berdampak pada kerugian yang akan ditimbulkan dari keberadaan SDA, misalnya dalam bentuk banjir, pencemaran air, dan sebagainya. Dalam merumuskan kebijakan lingkungan, Pemerintah lazimnya menetapkan tujuan yang hendak dicapai. Kebijakan lingkungan disertai tindak lanjut pengarahan dengan cara bagaimana penetapan tujuan dapat dicapai agar ditaati masyarakat. Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) mendasari kebijaksanaan lingkungan di Indonesia, karena Undang-Undang, peraturan pemerintah dan peraturan pelaksanaan lainnya merupakan instrumen kebijaksanaan (instrumenten van beleid). Instrumen kebijaksanaan lingkungan perlu ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan lingkungan demi kepastian hukum dan mencerminkan arti penting hukum bagi penyelesaian masalah lingkungan.

B. Kebijakan Nasional Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup

Kebijakan pemerintah (negara) dalam kepustakaan internasional disebut sebagai public policy. Kebijakan publik tetap ada dan terus ada sepanjang masih ada negara yang mengatur kehidupan bersama. Dalam refleksi para pemikir seperti Hobbes dan Smith dalam Priyono (2003), misalnya, kondisi asli kita berupa konflik tak berkesudahan antar individu (manusia ialah serigala bagi sesamanya). Inilah yang disebut “masalah Hobbesian tentang tatanan”. Jadi di satu pihak, orang ingin berbuat sesukanya tanpa memikirkan kebutuhan orang lain. Di lain pihak, hidup bersama hanya mungkin berdiri di atas tatanan yang mengakomodasi kebutuhan banyak orang. Mengelola tegangan keduanya merupakan alasan keberadaan kebijakan publik.

Kebijakan pemerintah (negara) adalah serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat. Menurut konsep demokrasi modern, kebijaksanaan pemerintah (negara) tidaklah hanya berisi cetusan pikiran atau pendapat para pejabat yang mewakili rakyat, tetapi opini publik (public opinion) yang mempunyai porsi yang sama besarnya untuk diisikan (tercermin) dalam kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah. Setiap kebijakan harus selalu berorientasi pada kepentingan publik (Islami, 2003).

Menurut jenisnya, kebijakan pemerintah (public policy) dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu kebijakan dalam bentuk peraturan-peraturan pemerintah yang tertulis dalam bentuk peraturan perundangan, dan peraturan-peraturan tidak tertulis namun disepakati, yaitu yang disebut sebagai konvensi-konvensi (Nugroho, 2002). Kebijakan pemerintah ini juga mencakup rencana aksi, yang meliputi program dan kegiatan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditentukan. Perumusan kebijakan mempunyai persamaan dan perbedaan dengan pengambilan keputusan. Pembentukan kebijakan dilakukan dengan pemilihan alternatif-alternatif yang bersifat terus menerus dan tidak pernah selesai, atau dengan kata lain meliputi banyak pengambilan keputusan (Tjokroamidjojo, 1981).

Meskipun telah banyak kebijakan pemerintah Indonesia, rencana dan program maupun peran serta berbagai pihak, namun ternyata permasalahan sumber daya alam dan lingkungan hidup tetap terjadi. Sehubungan dengan hal tersebut, Kementerian Lingkungan Hidup telah terdorong untuk melengkapi kebijakan, rencana dan program yang telah ada, dengan dilandasi cara pandang bahwa pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan hidup harus berkelanjutan.

Dalam menyusun kebijakan ini digunakan perangkat Kajian Lingkungan Strategis (KLS) terhadap kebijakan, rencana dan program yang telah ada dan terkait dengan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Secara substansial, KLS merupakan suatu upaya sistematis dan logis dalam memberikan landasan bagi terwujudnya pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup secara berkelanjutan melalui proses pengambilan keputusan yang berwawasan lingkungan. Dari beberapa kebijakan pemerintah di bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup, terdapat kebijakan di bidang air dan energi, yang dapat dipedomani dan disinergikan dengan kebijakan-kebijakan pembangunan lingkungan hidup di daerah.

Adapun pokok-pokok kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup bidang air adalah:

1. Kebijakan pelestarian air perlu menempatkan subsistem produksi air, distribusi air, dan konsumsi air dalam satu kesatuan yang meyeluruh dan terkait untuk menuju pada pencapaian pola keseimbangan antar sub sistem tersebut
2. Kebijakan sub sistem Produksi Air, meliputi (1) Konservasi ekosistem DAS dan sumber air untuk menjamin pasokan air; (2) Mencegah dan memulihkan kerusakan lingkungan terutama pada ekosistem DAS, (3) Mengendalikan pencemaran untuk menjaga dan meningkatkan mutu air; (4) Optimalisasi pemanfaatan air hujan.
3. Kebijakan konsumsi air yang hemat dan efisien untuk mendukung pelestarian air
4. Kebijakan sub sistem distribusi air, meliputi (1) merencanakan peruntukan air permukaan dan air tanah (2) meningkatkan infrastruktur yang memadai.
5. Kebijakan penataan ruang, meliputi (1) Menetapkan rencana tata ruang sesuai daya dukung dan daya tampung lingkungan (2) Konsistensi pemanfaatan ruang; (3) pengawasan penataan ruang, (4) Meningkatkan akses informasi
6. Kebijakan kelembagaan, meliputi (1) membentuk lembaga pengelola air, (2) mekanisme penyelesaian sengketa air (3) Valuasi ekonomi, (4) insentif ekonomi.

Pokok-pokok kebijakan sumber daya alam dan lingkungan hidup di bidang energi adalah:
1. Kebijakan pencegahan pencemaran; Baku Mutu Limbah Cair penambangan batu bara, Baku Mutu kualitas udara ambient dan emisi gas buang kendaraan bermotor, dan pelaksanaan AMDAL pada setiap kegiatan penambangan
2. Kebijakan produksi dan penyediaan energi yang ramah lingkungan
3. Kebijakan penguatan security of supply, dengan upaya penyediaan bahan bakar campuran BBM seperti gahosol, biodisel, dll.
4. Kebijakan pemanfaatan energi yang ramah lingkungan
5. Kebijakan pemanfaatan energi tak terbarukan dengan efisien dan hemat
6. Kebijakan pemenfaatan energi terbarukan, dengan dorongan investasi dan inovasi teknologi.


Dengan kondisi dan status lingkungan hidup di Indonesia, Pemerintah juga telah menetapkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional, dengan sasaran yang ingin dicapai adalah membaiknya sistem pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Tujuannya untuk mencapai keseimbangan antara aspek pemanfaatan sumber daya alam sebagai modal pertumbuhan ekonomi (kontribusi sektor perikanan, kehutanan, pertambangan dan mineral terhadap PBD) dengan aspek perlindungan terhadap kelestarian fungsi lingkungan hidup sebagai penopang sistem kehidupan secara luas. Adanya keseimbangan tersebut berarti menjamin keberlanjutan pembangunan. Untuk itu, pengarusutamaan (mainstreaming) prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di seluruh sektor, baik di pusat maupun di daerah, menjadi suatu keharusan. Yang dimaksud dengan sustainable development adalah upaya memenuhi kebutuhan generasi masa kini tanpa mengorbankan kepentingan generasi yang akan datang. Seluruh kegiatannya harus dilandasi tiga pilar pembangunan secara seimbang, yaitu menguntungkan secara ekonomi (economically viable), diterima secara sosial (socially acceptable) dan ramah lingkungan (environmentally sound). Prinsip tersebut harus dijabarkan dalam bentuk instrumen kebijakan maupun investasi pembangunan jangka menengah (2005-2009) di seluruh sektor dan bidang yang terkait dengan sasaran pembangunan sumber daya alam dan lingkungan hidup, seperti di bawah ini:

Sasaran pembangunan lingkungan hidup adalah: (1) Meningkatnya kualitas air sungai khususnya di seluruh DAS kritis disertai pengendalian dan pemantauan secara kontinyu; (2) terjaganya danau dan situ, khususnya di Jabodetabek, dengan kualitas air yang memenuhi syarat; (3) Berkurangnya pencemaran air dan tanah di kota kota besar disertai pengendalian dan pemantauan terpadu antar sektor; (4) Terkendalinya kualitas air laut melalui pendekatan terpadu antara kebijakan konservasi wilayah darat dan laut; (5) membaiknya kualitas udara perkotaan khususnya di Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Medan, didukung oleh perbaikan manajemen dan sistem transportasi kota yang ramah lingkungan; (6) Berkurangnya penggunaan bahan perusak ozon (ODS/Ozone Depleting Substances) secara bertahap dan sama sekali hapus pada tahun 2010; (7) Berkembangnya kemampuan adaptasi terhadap perubahan iklim global; (8) Pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan sesuai pedoman IBSAP 2003-2020 (Indonesia Biodiversity Strategy and Action Plan); (9) meningkatnya upaya 3R (Reduce, Reuse, Recycle) dalam manajemen persampahan untuk mengurangi beban TPA; (10) regionalisasi pengelolaan TPA secara profesional untuk mengantisipasi keterbatasan lahan di Jabodetabek dan kota-kota besar lainnya; (11) mengupayakan berdirinya satu fasilitas pengelolaan limbah B3 yang baru di sekitar pusat kegiatan induatri; (12) tersusunya aturan pendanaan lingkungan yang inovatif sebagai terobosan untuk mengatasi kecilnya pembiayaan sektor lingkungan hidup; (13) sosialisasi berbagai perjanjian internasional kepada para pengambil keputusan di tingkat pusat dan daerah; (14) membaiknya sistem perwakilan Indonesia di berbagai konvensi internasional untuk memperjuangkan kepentingan nasional; dan (15) meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya memelihara sumber daya alam dan lingkungan hidup.

Sasaran pembangunan lingkungan hidup di bidang kehutanan adalah: (1) Tegaknya hukum, khususnya dalam pemberantasan illegal loging dan penyelundupan kayu; (2) Pengukuhan kawasan hutan dalam tata ruang seluruh propinsi di Indonesia, setidaknya 30 persen dari luas hutan yang telah ditata batas; (3) Optimalisasi nilai tambah dan manfaat hasil hutan dan kayu; (4) Meningkatnya hasil hutan non kayu sebesar 30 persen dari produksi tahun 2004; (5) Bertambahnya hutan tanaman industri (HTI), seluas 3 juta hektar, sebagai basis pengembangan ekonomi hutan; (6) Konservasi hutan dan rehabilitasi lahan di 141 DAS prioritas untuk menjamin pasokan air dari sistem penopang kehidupan lainnya; (7) Desentralisasi kehutanan melalui pembagian wewenang dan tangghung jawab yang disepakati oleh Pusat dan Daerah; (8) berkembangnya kemitraan antara pemerintah, pengusaha, dan masyarakat dalam pengelolaan hutan lestari; dan (9) Penerapan iptek yang inovatif pada sektor kehutanan.

Sasaran pembangunan lingkungan hidup di bidang kelautan adalah; (1) Berkurangnya pelanggaran dan perusakan sumber daya kelautan; (2) Membaiknya pengelolaan ekosistem pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil secara terpadu; (3) Selesainya batas laut dengan negara tetangga; dan (4) Serasinya peraturan perundang di bidang kelautan.

Sasaran pembangunan lingkungan hidup di bidang pertambangan dan sumber daya mineral adalah: (1) Optimalisasi peran migas dalam penerimaan negara guna menunjang pertumbuhan ekonomi; (2) meningkatnya cadangan, produksi, dan ekspor migas; (3) Terjaminnya pasokan migas dan [produk-produknya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri; (4) terselesaikannya Undang undang Pertambangan sebagai pengganti Undang undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pokok Pokok Pertambangan; (5) Meningkatnya investasi pertambangan dengan perluasan lapangan kerja dan kesempatan berusaha; (6) Meningkatnya produksi dan nilai tambah produk pertambangan; (7) terjadinya alih teknologi dan kompetensi tenaga kerja; (8) Meningkatnya kualitas industri hilir yang berbasis sumber daya mineral, (9) Meningkatnya keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan; dan (10) Berkurangnya kegiatan pertambangan tanpa ijin (PETI).

Untuk mencapai sasaran tersebut di atas, arah kebijakan yang akan ditempuh meliputi perbaikan manajemen dan sistem pengelolaan sumber daya alam, optimalisasi manfaat ekonomi dan sumber daya alam termasuk jasa lingkungannya, penegakan hukum, rehabilitasi dan pemulihan cadangan sumber daya alam, dan pengendalian pencemaran lingkungan hidup. Sasaran pembangunan di atas dibuat agar sumber daya alam dapat tetap mendukung perekonomian nasional dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa mengorbankan daya dukung dan fungsi lingkungan hidupnya, agar kelak tetap dapat dinikmati oleh generasi mendatang.

Untuk menterjemahkan sasaran pembangunan dan arah kebijakan di atas, maka pembangunan sumber daya alam dan lingkungan hidup jangka menengah 2004-2009 akan mencakup program-program sebagai berikut:

1. Program Pemantapan dan Pemanfaatan Potensi Sumber Daya Hutan
2. Program Pengelolaan Sumber Daya Hutan
3. Program Pembinaan Usaha Pertambangan Migas
4. Program Pembinaan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara
5. Program Perlindungan dan Konservasi Sumber Daya Alam
6. Program Rehabilitasi dan Pemulihan Cadangan Sumber Daya Alam
7. Program Pengembangan Kapasitas Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup
8. Program Peningkatan Kualitas dan Akses Informasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup
9. Program Pengendalian Pencemaran Lingkungan Hidup

C. Prinsip-Prinsip Pembangunan Yang Berwawasan Lingkungan

Program lingkungan PBB (UNEP) mengidentifikasikan lima tujuan pokok pembangunan berkelanjutan, yaitu :
a. Membantu kaum miskin karena konon, maka tak punya pilihan untuk bertahan selain merusak lingkungan
b. Pembangunan atas kekuatan sendiri yang dipagari oleh daya dukung lingkungan
c. Pembangunan dengan biaya efektif dan menggunakan parameter ekonomi non konvensional
d. Perbaikan lingkungan kesehatan, penyediaan air bersih dan tempat tinggal untuk setiap manusia
e. Pembangunan yang bersifat pada inisiatif rakyat (people centered development).

Agenda 21, program aksi PBB yang dihasilkan KTT Bumi Rio De Janeiro 1992, pernyataan tentang prinsio-prinsip kehutanan, konvensi tentang perubahan iklim dan konvensi tentang kekanekaragaman hayati. Sustainable development dalam terminologi ekonomi, diartikan sebagai suatu pembangunan yang tidak pernah punah – development that last, pearce and barbier (Adiningsih, 2002:5). Secara lebih spesifik dapat diartikan sebagai suatu pembangunan ekonomi yang memakimumkan kualitas kehidupan generasi sekarang yang tidak menyebabkan penurunan kualitas kehidupan generasi mendatang. Kualitas hidup tidak hanya mencakup aspek kebutuhan ekonomi namun juga kebutuhan akan alam yang bersih, sehat dan tingkat kehidupan sosial yang diinginkan. Dapatlah dikatakan pembangunan yang berindikator pada keberhasilan eknomi, social, budaya dan kesehatan saja adalah sebuah kegagalan sebab harus di ukur dari keberhasilan pelestarian lingkungan hidup yang menjamin kelangsungan hidup generasi mendatang untuk dapat disebut sebagai pembangunan yang berhasil.

Konferensi Tingkat Tinggi Pembangunan Lingkungan Hidup di Rio De Janeiro Brasil tahun 1992 menghasilkan sejumlah prinsip-prinsip Pembangunan Berkelanjutan yang harus bisa dilaksanakan oleh setiap negara peserta dan penandatanganan Deklarai Bumi terdapat 5 (lima) prinsip yang sangat penting dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan, yaitu :
1. Prinsip keadilan inter dan antar generasi
2. Prinsip kehati-hatian
3. Prinsip internalisasi dampak lingkungan eksternal yang ditimbulkan
4. Prinsip keberlanjutan pemanfaatan
5. Prinsip pencemar membayar

D. Pengelolaan Lingkungan Hidup Dan Otonomi Daerah

Undang- undang No 32 Tahun 2004 terbit menggantikan Undang-undang No 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. UU 32/2004 ini diharapkan dapat semakin memperkokoh kebijakan publik di Indonesia dalam pengelolaan lingkungan hidup. Undang-undang ini merupakan landasan dan pedoman dalam penyelenggaran pemerintahan di Indonesia.

Berbagai fenomena “unproductive” dalam masa UU 22/1999 yang telah memberikan kewenangan yang besar kepada Pemerintah Kota/Kabupaten dalam penyelenggaran pemerintahannya, termasuk dalam pengendalian dampak lingkungan, diharapkan dapat segera diatasi. Penyerahan kewenangan dalam pengelolaan lingkungan hidup kepada pemerintah kabupaten/kota, di berbagai daerah ternyata tidak memberikan dukungan yang memperkuat upaya pelestarian lingkungan. Hal tersebut terlihat dari banyaknya Peraturan Daerah yang cenderung “kebablasan”, tidak sejalan dengan sistem peraturan perundang-undangan di atasnya. Namun di sisi lain, ada juga beberapa daerah yang lebih memperhatikan kelestarian lingkungan di daerahnya. Pada umumnya daerah tersebut telah dapat menempatkan lingkungan hidup sebagai faktor pendukung pembangunan di daerahnya. Sebagai contoh kota-kota di Bali, dengan lingkungan hidup yang baik, maka pembangunan menjadi daerah wisata lebih terdukung.

Lahirnya Undang-undang No 32/2004 telah memberikan keseimbangan dalam system pemerintahan di Indonesia, termasuk di bidang lingkungan hidup. UU ini telah memberikan porsi kewenangan yang cukup kepada pemerintah Pemerintah Propinsi, yakni sebagai koordinator penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerahnya. Dengan demikian diharapkan terdapat keseimbangan dan sinergitas antara level pemerintahan Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota. Sebagaimana diatur dalam pasal 13 UU 32/2004 yang menjadi urusan wajib dan menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi:
a. perencanaan dan pengendalian pembangunan
b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang
c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat
d. penyediaan sarana dan prasarana umum
e. penanganan bidang kesehatan
f. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial
g. penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota
h. pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota
i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota
j. pengendalian lingkungan hidup
k. pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota
l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil
m. pelayanan administrasi umum pemerintahan
n. pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota
o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota
p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan

Urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan, seprti halnya pertambangan, pertanian, kehutanan, pariwisata dan lain sebagainya.

Sedangkan yang menjadi urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah untuk kabupaten/kota adalah urusan yang berskala kabupaten dan kota, dengan komponen yang sama dengan urusan wajib propinsi. Dalam hal pengendalian dampak lingkungan adalah merupakan salah satu urusan wajib yang harus diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah. Rincian lebih lanjut mengenai urusan wajib ini akan ditaungkan dalam peraturan pemerintah.



BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Perkembangan kebijakan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia, menunjukkan kemajuan yang yang cukup signifikan. Perundang-undangan yang terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup meningkat, baik dari jumlah dan materi cakupan. Dengan demikian, akan semakin lengkap kebijakan publik pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia.

Kebijakan-kebijakan lingkungan yang ada bertujuan untuk memberikan petunjuk bagi penyelenggaraan pengelolaan lingkungan sehingga dalam pelaksanaannya diharapkan tidak menimbulkan hal-hal yang merugikan masyarakat.

Dengan dilakukannya pengelolaan  lingkungan secara benar dan dikeluarkannya kebijakan lingkungan telah memberikan manfaat yang besar bagi lingkungan indonesia walaupun hasilnya belum maksimal dirasakan. Sedikit-demi sedikit kerusakan lingkungan dapat diatasi sehingga upaya mengurangi dampak kerusakan lingkungan bagi masyarakat dapat terselenggara dengan baik.

  Namun demikian kebijakan yang fleksibel, yang dapat mengikuti perkembangan jaman, menjadi suatu kebutuhan pokok untuk menjadikan kebijakan yang efektif. Selain itu, untuk mewujudkan kebijakan yang efektif harus didukung oleh 3 (tiga) unsur, yaitu materi kebijakan (content of policy), tata laksana kebijakan (structure of policy), dan budaya kebijakan (culture of policy). Content of policy, adalah isi dan cakupan yang komprehensif dan mengakomodir berbagai kepentingan masyarakat. Structure of policy adalah kelembagaan dan aparat pelaksana dari kebijakan pemerintah. Culture of policy adalah kondisi sosial masyarakat obyek kebijakan yang akan mempengaruhi sikap dan penerimaan dari kebijakan pemerintah.

B. Saran

Tentu dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari tata cara penulisan dan bahasa yang digunakan. Oleh karenanya kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan agar makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Referensi:
geografi lingkungan_ Kebijaakan Lingkungan Di Indonesia.html
Catatan Sederhana_ KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAN LINGKUNGAN HIDUP.html
ardhy upuch_ KEBIJAKAN LINGKUNGAN.html
Ilmu Administrasi Negara_ kebijakan Dan pengelolaan lingkungan hidup di indonesia.html
KEBIJAKAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN PENGELOLAAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DAN BERWAWASAN LINGKUNGAN _ JURNAL LINGKUNGAN HIDUP.html
Makalah Pembangunan Lingkungan Hidup Dalam Kebijakan Nasional _ Aneka Ragam Makalah.html

/WELCOME TO MY BLOG. Join with me guys!!_ MAKALAH KEBIJAKAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA.html

Makalah Antropologi Hukum “Perbandingan Antropologi Hukum dan Sosiologi hukum”

Makalah ini membahas tentang pengertian  antropologi hukum, pengertian sosiologi hukum, dan bagaimana perbedaan antropologi hukum dan sosiologi hukum. Antropologi hukum merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari pola-pola sengketa dan penyelesaiaannya pada masyarakat.


BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum hakekatnya merupakan gejala dalam kenyataan kemasyarakatan yang majemuk, yang mempunyai  banyak aspek dimensi dan faset. Hukum berakar dan terbentuk dalam proses interaksi berbagai aspek kemasyarakatan (politik, ekonomi, social budaya, teknologi, keagamaan dan sebagainya),dibentuk dan membentuk tatanan masyarakat, bentuknya ditentukan oleh masyarakat dengan berbagai sifatnya, namun sekali-kali ikut menentukan bentuk dan sifat masyarakat itu sendiri. Jadi, dalam dinamikanya, hukum itu dikondisi dan mengkondisikan masyarakat, karena tujuan utamanya untuk mewujudkan ketertiban dan keadilan secara konkret dalam masyarakat, maka dalam hukum terkandung baik kecenderungan konservatif  (mempertahankan dan memelihara apa yang sudah tercapai) maupun kecenderungan modernisme (membawa, mengkanalisasi dan mengarahkan perubahan). Dengan kata lain menurut Mochtar Kusumaatmadja, dalam implementasinya, hukum memerlukan kekuasaan dan sekaligus menetukan batas-batas serta cara-cara penggunaan kekuasaan itu.

Antara ilmu hukum dan ilmu-ilmu sosial lainnya mempunyai hubungan yang erat bahkan saling berkaitan didalam menjalankan fungsinya. Apabila dari berbagai ilmu social tersebut ditinjau dari aspek keluarnya,timbullah  berbagai macam ilmu pengetahuan tentang hukum.

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa ilmu tentang kenyataan atau Tatsacbenwissenchaft atau seinwissenshaft yang menyoroti hukum sebagai perikelakuan atau sikap tindak. Yang termasuk ilmu-ilmu kenyataan adalah antropologi hukum dan sosiologi hukum.

B. Rumusan Masalah
1) Apa  pengertian  antropologi hukum?
2) Apa  pengertian sosiologi hukum?
3) Bagaimana perbedaan antropologi hukum dan sosiologi hukum?


C. Tujuan Pembahasan
1) Untuk mengetahui  pengertian antropologi hukum
2) Untuk mengetahui pengertian sosiologi hukum
3) Untuk mengetahui perbedaan antropologi hukum dan sosiologi hukum.


D. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari penyusunan makalah ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan  bagi pembaca terutama bagi penulis, serta dapat menambah wawasan mengenai perbedaa sosiologi hukum dan antropologi hukum.

BAB 2
PEMBAHASAN

A. Pengertian Antropologi Hukum

Antropologi secara etimologis berasal dari bahasa Yunani. Kata Anthropos berarti manusia dan logos berarti ilmu pengetahuan. Antropologi hukum yakni suatu cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari pola-pola sengketa dan penyelesaiaannya pada masyarakat-masyarakat sederhana, maupun masyarakat-masyarakat yang sedang mengalami proses perkembangan dan pembangunan. Metode pendekatan antropolog menurut Euber: ”suatu segi yang menonjol dari ilmu antropologi adalah pendekatan secara menyeluruh yang dilakukan terhadap manusia. Para antropolog mempelajari tidak hanya semacam jenis manusia, mereka juga mempelajari semua aspek dari pengalaman manusia seperti  penulisan tentang gambaran bagian dari sejarah manusia, lingkungan hidup dan kehidupan keluarga-keluarga, pemukiman, segi-segi ekonomi, politik, agama, gaya kesenian dan berpakaian, bahasa dan sebagainya.

Antropologi hukum memperhatikan dan memerima hukum sebagai bagian dari proses-proses yang lebih besar dalam masyarakat. Dengan demikian, sesungguhnya ia melihat hukum tidak secara statis, melainkan dinamis, yaitu dalam proses-proses terbentuknya dan menghilang secara berkesinambungan.

Antropologi hukum menggunakan  pendekatan secara menyeluruh dalam menyelidiki manusia dan masyarakatnya memenuhi, bahwa melalui manifestasi-manifestasinya sendiri yang khas, hukum itu selalu hadir dalam masyarakat.

Antropologi hukum mempunyai persamaan dengan sosiologi hukum, oleh karena keduanya ingin mengerti dan dapat menjelaskan fenomena hukum itu dan bukan untuk memakai peraturan-peraturan hukum yang konkret untuk mengarahkan tingkah laku manusia. Dengan demikian, keduanya juga akan bertemu dalam pandangan dan pendekatan, bahwa hukum itu tidak bisa dilepaskan dari keseluruhan proses-proses dalam masyarakat, proses-proses yang lebih besar yang didalamnya termasuk hukum (Satjipto Rahardjo, 2000:333).

Menurut Satjipto Rahardjo (2000:333) karakteristik antropologi tampaknya memang terletak pada sifat pengamatan, penyelidikan serta pemahamannya secara menyeluruh terhadap kehidupan manusia.


B. Pengertian Sosiologi Hukum

Sosiologi sendiri lahir dari seorang tokoh yang berkebangsaan Prancis August conte lewat karangannya yang berjudul cours de philosophie possitive. Sosiologi berasal dari bahasa Latin yaitu Socius yang berarti kawan, teman sedangkan Logos berarti ilmu pengetahuan.

Sosiologi hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara empiris dan analitis mempelajari hubungan timbal balik antara hukum sebagai gejala sosial, dengan gejala-gejala social lain. 

Beberapa karakteristik studi hukum secara sosiologis (Satjipto Rahardjo, 2000:326-327):
1. Sosiologi hukum bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap praktik-praktik hukum.
2. Sosiologi hukum senantiasa menguji kesahihan empiris (emprical validity) dari suatu peraturan atau pernyataan hukum.
3. Sosiologi hukum tidak melakukan penilaian terhadap hukum.

Ketiga karakteristik studi hukum secara sosiologis tersebut sekaligus juga merupakan kunci bagi orang yang berminat untuk melakukan penyelidikan dalam bidang sosiologi hukum.

Tugas utama sosiologi hukum adalah menyelidiki apa yang seharusnya menjadi tugas hukum dalam masyarakat.

Sesuai dengan tugas tersebut, maka mempelajari dan mengetahui sosiologi hukum adalah penting untuk:
1) Mengetahui fenomena-fenomena hukum dan fenomena-fenomena sosial yang mempengaruhi hukum;
2) Mengetahui mana hukum yang hidup (living law) dan yang tidak hidup dalam masyarakat.
3) Mengetahui sejauh mana masyarakat melakukan pentaatan terhadap hukum.
4) Mengetahui apakah produk badan legislatif sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dan tumbuh dalam masyarakat.

Menurut Harry M. Johnson, yang dikutip oleh Soerjono Soekanto, sosiologi sebagai ilmu mempunyai ciri-ciri, sebagai berikut:
a) Empiris, yaitu didasarkan pada observasi (pengamatan) dan akal sehat yang hasilnya tidak bersifat spekulasi (menduga-duga).
b) Teoritis, yaitu selalu berusaha menyusun abstraksi dari hasil observasi yang konkret di lapangan, dan abstraksi tersebut merupakan kerangka dari unsur-unsur yang tersusun secara logis dan bertujuan menjalankan hubungan sebab akibat sehingga menjadi teori.
c) Komulatif, yaitu disusun atas dasar teori-teori yang sudah ada, kemudian diperbaiki, diperluas sehingga memperkuat teori-teori yang lama.
d) Nonetis, yaitu pembahasan suatu masalah tidak mempersoalkan baik atau buruk masalah tersebut, tetapi lebih bertujuan untuk menjelaskan masalah tersebut secara mendalam.

C. Perbedaan Antropologi Hukum dan Sosiologi Hukum
1. Antropologi Hukum
a) Obyek kajian terhadap budaya yang ada pada  manusia
b) Metode penelitian menggunakan Deskriptif, Kualitatif, Holistik, dan Komparatif
c) Antropologi mempelajari tentang budaya yang ada pada kalangan masyarakat dalam suatu etnis tertentu. Tentunya antropologi lebih juga menitikberatkan pada personal dan penduduk yang merupakan masyarakat tunggal.

Apabila antropologi hukum mengunakan hukum yang ideal sebagai titik tolak dalam penelitian untuk mengetahui apakah dan sejauh manakah kaidah-kaidajh hukum itu dilaksanakan anggota-anggota masyarakat tertentu, terutama masyarakat sederhana atau masyarakat pedesaan ; maka sosiologi hukum menggunakan hukum ideal sebagai titik tolak penelitiannya untuk mengetahui apakah dan sejauh manakah kaidah-kaidah hukum itu berlaku sesunguhnya dalam pergaulan hidup masyarakat, terutama masyarakat modern.

2. Sosiologi Hukum
a) Obyek kajian studi lebih dipusatkan pada Masyarakat
b) Metode penelitian lebih dipusatkan pada Kuantitatif daripada kualitatif karena sosiologi mempelajari kehidupan masyarakat dan harus mengunakan data statistik untuk mendapatkan data yang otentik dan valid.
c) Ranah keilmuan banyak mempelajari segala hal tentang masyarakat hingga solusi-solusi yang menciptakan integrasi masyarakat.


Sosiologi hukum bermaksud untuk menggambarkan hukum yang sebenar-benarnya berlaku dalam pergaulan masyarakat, yang implisit berlaku bukan yang ekplisit menurut kaidah-kaidah hukumnya yang ideologis. Dalam sosiologi hukum nampak adanya saling pengaruh mempengaruhi antara hukum dengan faktor-faktor kemasyarakatan yang lain, misalnya pengaruh ekonomi, pengaruh agama dan sebagainya (perhatikan peldooin, 1954: 348). Dengan demikian nampak seolah-olah batas antara sosiologi hukum dan antropologi hukum menjadi samar-samar, diarenakan seolah-olah tujuannya sama.


BAB 3
PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Antropologi hukum lebih menitikberatkan suatu budaya hukum yang berkaitan atau mempengaruhi masalah hukum (aspek yang melatar belakangi hukum dan penyelesaiaan hukum).

2. Antropologi hukum mengunakan hukum yang ideal sebagai titik tolak dalam penelitian untuk mengetahui apakah dan sejauh manakah kaidah-kaidah hukum itu dilaksanakan anggota-anggota masyarakat tertentu, terutama masyarakat sederhana atau masyarakat pedesaan ; maka sosiologi hukum menggunakan hukum ideal sebagai titik tolak penelitiannya untuk mengetahui apakah dan sejauh manakah kaidah-kaidah hukum itu berlaku sesunguhnya dalam pergaulan hidup masyarakat, terutama masyarakat modern.


B. Saran

Tentu dalam penulisan makalah ini masih jauh dari  kesempurnaan baik dari tata cara penulisan  dan bahasa yang digunakan. Oleh karenanya kritik dan saranyang membangun sangat diharapkan agar makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Referensi:
Dirdjosisworo, soedjono.2010: Pengantar Ilmu Hukum. Rajawali Pers. Jakarta
Sampara Said, Dkk. 2011: Buku Ajar Pengantar Ilmu Hukum. Total Media. Yogyakarta
https://adikanina1987.wordpress.com/2012/05/14/perbandingan-antropologi-hukum-sosiologi-hukum-dan-hukum-adat/
http://ippizul.blogspot.co.id/2014/12/perbedaan-antropologi-dengan-sosiologi.html




Makalah Hukum Kepegawaian "Fungsi, Sanksi, dan Penyelesaian Sengketa"

Makalah ini membahas tentang fungsi Aparatur Negara dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun   2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Kemudian tentang pemberlakuan sanksi bagi Pegawai Negeri Sipil yang menyalahgunakan wewenangnya dan bagaimana penyelesaian sengketa Kepegawaian Pasca Lahirnya Undang-Undang  Nomor  5 Tahun  2014.

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia W.J.S.  Poerwadinata,  kata pegawai berarti:   "orang   yang   berkerja   pada   Pemerintah (Perusahaan    dan   sebagainya)." Sedangkan "negeri" berarti: "negara"  atau "pemerintah."  Jadi pegawai negeri adalah orang  yang bekerja  pada Pemerintahatau  negara. Aparatur  Negara  sebagai  sarana kepegawaian memiliki kedudukan dan peranan yang sangat penting dalam penyelenggaraan   fungsi  pemerintah.  Arti  penting  tersebut  oleh  Utrecht  dikaitkan dengan  pengisian  jabatan   pemerintahan,   yang  diisi   oleh  Pegawai  Negeri  Sipil.

Aparatur   Negara   merupakan   sarana  yang  sangat  penting   dalam  mencapai tujuan  negara,  sebagaimana  yang .tercantum   dalam  dalam  Pembukaan  UUD  1945 (Alinea ke-IV).  Tujuan  tersebut  antara  lain adalah melindungi  segenap bangsa dan seluruh  Tumpah  Darah   Indonesia.   Tujuan  pembangunan   nasional   adalah  untuk membentuk  satu  masyarakat  adil dan  makmur,  seimbang  materiil  dan  spiritualnya berdasarkan     Pancasila     dalam     wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kelancaran pelaksanaan   pemerintah   dan pembangunan   nasional,  terutama  sekali tergantung pada pesempumaan  Aparatur Negara. Pentingnya peran Aparatur Negara ini tidak terlepas dari diberikannya  perlindungan  hukum dan kepastian hukum yang diberikan oleh Pemerintah  bagi Aparatur Negara dalam menjalankan tugasnya. Oleh karena  itu,  Pemerintah   telah  berupaya   sungguh-sungguh   untuk  merumuskannya dalam suatu kerangka perundang-undangan tentang kepegawaian  yang semakin lama bertambah sempuma.

Upaya   untuk   menyempurnakan   tersebut   di  tandai   dengan   beberapa   kali perubahan  pada  peraturan  perundang-undangan   yang  mengatur  tentang  Aparatur Negara  tersebut.  Setelah  Undang-Undang   Nomor  8   Tahun  1974  tentang  Pokok-Pokok  Kepegawaian  diubah  menjadi  Undang-Undang  Nomor  43 tahun  1999, kini lahir   Undang-Undang   Nomor  5  Tahun   2014   tentang   Aparatur Sipil  Negara. Perubahan yang terjadi khususnya mengenai mekanisme  penyelesaian  sengketa Aparatur  Sipil Negara  (ASN).

Asas-asas umum pemerintahan  yang  baik  dapat  dipahami sebagai asas-asas    umum    yang    dijadikan    sebagai   dasar    dan    tata   cara    dalam penyelenggaraan pemerintah yang layak, yang dengan cara demikian penyelenggara pemerintahan itu menjadi baik, sopan, adil dan terhormat, bebas dari kezaliman pelanggaran peraturan, tindakan penyalahgunaan wewenang dan tindakan sewenang-wenang.

B. Rumusan masalah

1. Bagaimana fungsi Aparatur Negara dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun   2014 tentang Aparatur Sipil Negara ?
2. Bagaimana pemberlakuan sanksi bagi Pegawai Negeri Sipil yang menyalahgunakan wewenangnya ?
3. Bagaimana penyelesaian sengketa Kepegawaian Pasca Lahirnya Undang-Undang  Nomor  5 Tahun  2014 ?

C. Tujuan

1. Mengetahui bagaimana fungsi Aparatur Negara dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun   2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
2. Untuk mengetahui bentuk pemberlakuan sanksi bagi Pegawai Negeri Sipil yang menyalahgunakan wewenangnya.
3. Untuk mengetahui 3. Bagaimana penyelesaian sengketa Kepegawaian Pasca Lahirnya Undang-Undang  Nomor  5 Tahun  2014.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Aparatur Negara dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara

Negara baik sebagai badan hukum publik maupun organisasi jabatan  dibentuk dengan tujuan-tujuan  tertentu.  Dengan  kata lain, setiap  negara itu memiliki  tujuan yang hendak  dicapai.  Indonesia  sebagai  suatu negara juga  dibentuk  dengan tujuan tertentu. Tujuan negara tersebut dapat dilihat pada Alinea ke empat Undang-Undang Dasar  1945 Negara  Republik  Indonesia  yang terdiri  dari empat tujuan negara  dan satu tujuan akhir negara, yaitu :
1. Tujuan perlindungan (Protectional  Goal);
2. Tujuan Kesejahteraan (Welfare Goal);
3. Tujuan Pencerdasan (Educational  Goal);
4. Tujuan Kedamaian (Peacefullness  Goal).
keempat tujuan negara ini kemudian menuju ke satu tujuan akhir, yaitu untuk mencipatakan masyarakat  adil dan makmur. Tujuan negara ini hanya bisa dicapai dengan adanya pembangunan  nasional yang dilakukan dengan perencanaan  yang  matang,  realistik,  terarah  dan  terpadu,  bertahap,  bersungguh-sungguh, berdaya guna dan berhasil guna.  Tujuan pembangunan  nasional ini adalah untuk membentuk  satu masyarakat  adil dan makmur,  yang tidak  lain adalah tujuan akhir negara Indonesia,  seimbang material dan spritualnya  berdasarkan  Pancasila di dalam wilayah negara kesatuan Negara Indonesia.

Dalam melaksanakan tujuan tersebut, maka negara harus memiliki sarana prasarana.  Salah satu  sarana yang  harus  ada di dalam  suatu  negara  adalah  tenaga kerja. Dalam hal ini tenaga kerja  sangat diperlukan  untuk mencapai  tujuan negara. Tenaga  kerja  tersebut  dapat  diartikan  sebagai  aparatur  negara,  dimana kesempuranaan aparatur negara sangat berpengaruh  dalam mencapai tujuan negera.Kesempurnaan  aparatur  negara  tergantung juga  dari kesempumaan  pegawai negeri  (sebagai  bagian  dari  aparatur  negara).  Pegawai  negeri  mempunyai  peranan amat penting sebab pegawai negeri merupakan unsur aparatur negara untuk menyelenggarakan  pemerintahan  dan pembangunan  dalam rangka  mencapai tujuan Negara.

Adapun pengertian dari Pegawai menurut Kranenburg adalah pejabat yang ditunjuk, jadi  pengertian  tidak  termasuk  terhadap  mereka  yang memangku jabatan mewakili seperti anggota parlemen, presiden dan sebaginya. Logemann dengan menggunakan  kriteria  yang  bersifat  materiil  mencermati  hubungan  antara  Negara dengan Pegawai Negeri dengan memberikan pengertian  Pegawai Negeri sebagai tiap pejabat yang mempunyai hubungan dinas dengan negara.

Jabatan   merupakan   personifikasi   hak  dan  kewajiban   dalam  struktur   organisasi pemerintahan.   Agar   dapat   berjalan   (menjadi   konkrit   (concrete)   atau   menjadi bermanfaat  bagi negara),  maka jabatan  (sebagai  personifikasi  hak dan kewajiban) dalam  struktur   organisasi pemerintahan.   Agar   dapat   berjalan   (menjadi   konkrit   (concrete)   atau   menjadi bermanfaat  bagi negara),  maka jabatan  (sebagai  personifikasi  hak dan kewajiban) memerlukan  suatu perwakilan  (vertegenwoordiging).   Yang menjalankan perwakilan itu,  ialah  suatu  pejabat,  yaitu  manusia  atau  badan  hukum.  Oleh  karena  diwakili penjabat,  maka jabatan  itu berjalan  .    Yang  menjalankan  hak  dan kewajiban  yang didukung  oleh  jabatan,   ialah  jabatan,   ialah  penjabat.   Jabatan  bertindak  dengan perantaraan dengan perantaraan penjabatnya.

Kedudukan  dan peranan yang  sangat penting  dari Aparatur  Negara  membuat Pemerintah   berupaya  untuk  terus  inenyempurnakan   aturan  yang  menjadi   dasar hukum  Aparatur  Negara.  Pasca  reformasi   1998,  dasar  hukum  kepegawaian  yang semula  diatur  melalui  UU No.8  Tahun  1974 tentang  Pokok-Pokok  Kepegawaian, disempurnakan  melalui  UU No.  43 Tahun  1999 tentang  Perubahan  atas UU No.8 Tahun   1974 tentang  Pokok-pokok   Kepegawaian.   Melalui  amandemen  UU  No.8 Tahun   1974 urgensi  keberadaan  pegawai  negeri  sudah  dikaitkan  dengan  tujuan nasional  untuk  mewujudkan  masyarakat  madani  yang  taat  hukum,  berperadaban modem,  demokratis,  makmur,  adil dan bermoral  tinggi. Namun transformasi  legal framework sebagai  pijakan  normativ   manajemen   PNS  terlihat   masih  dilakukan dengan setengah hati untuk tidak  mengatakan  dengan berat hati bahwa, UU No. 8Tahun  1974  yang  seharusnya  diganti  ternyata   hanya  direvisi   secara  parsialistik melalui Undang-Undang No. 43 Tahun 1999.

Dalam perkembangannya,  pijakan normativ  kepegawaian  tidak hanya berhenti hingga Undang-Undang  No. 43 Tahun  1999, namun pada tahun 2014 lahir Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Dalam hal ini terjadi perubahan  dan  penambahan  istilah  mengenai  aparatur  negara.   Sebelumnya,  pada Pasal  1     angka  1     di  Undang-Undang  Nomor  8  Tahun  1974 tentang  Pokok-pokok Kepegawaian   jo   Undang-Undang   Nomor   43   tahun   1999menyebutkan   bahwa, Pegawai   Negeri   adalah   setiap   warga   negara   Republik   Indonesia   yang   telah memenuhi  syarat  yang  ditentukan,   diangkat   oleh  pejabat  yang  berwenang   dan diserahi  tugas dalam  suatu jabatan  negeri,  atau diserahi  tugas  negara lainnya,  dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan  yang berlaku.

Kemudian dalam Pasal 2 ayat (1) Pegawai  Negeri terdiri dari Pegawai Negeri Sipil, Anggota Tentara Nasional Indonesia dan Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kemudian pada Pasal 2 ayat (2), disebutkan bahwa Pegawai Negeri Sipil terdiri  dari Pegawai  Negeri  Sipil  Pusat  dan Pegawai  Negeri  Sipil Daerah.  Dalam Pasal  2  ayat  (3),  menyebutkan  bahwa  di  samping  Pegawai  Negeri  sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pejabat yang berwenang  dapat mengangkat pegawai tidak tetap. Berbeda dengan apa yang ada di dalam Undang-Undang  Nomor 5  Tahun 2014 tentang Apatur Sipil Negara, dalam Pasal 1  angka 1   Undang-UndangNomor  5 Tahun 2014 tentang Apatur Sipil Negara menyebutkan  bahwa,  Aparatur  Sipil Negara yang selanjutnya  disingkat  ASN  adalah  profesi  bagi  pegawai  negeri  sipil  dan pegawai   pemerintah  dengan perjanjian  kerja yang bekerja  pada instansi pemerintah. Pasal 1 angka  2  menyebutkan  bahwa  Pegawai  Aparatur   Sipil   Negara  yang selanjutnya disebut Pegawai ASN adalah pegawai negeri  sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang diangkat oleh pejabat Pembina kepegawaian dan  diserahi tugas dalam  suatu jabatan  pemerintahan  atau  diserahi  tugas  negara  lainnya  dan dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan. 
                                                    
Kemudian  dalam  Pasal 1 angka 3  disebutkan  bahwa,  Pegawai  Negeri  Sipil yang  selanjutnya  disingkat  PNS  adalah  warga  negara  lndonesiayang   memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai Pegawai ASN secara tetapoleh pejabat pembina kepegawaianuntuk   menduduki  jabatan   pemerintahan.   Dalam Pasal 1  angka (4) Undang-Undang  Nomor  5  Tahun  2014  tentang  Aparatur Sipil Negara dinyatakan bahwa Pegawai  Pemerintah dengan  Perjanjian  Kerja  (PPPK)  adalah  warga Negara Indonesia  yang  memenuhi  syarat  tertentu,  yang  diangkat  berdasarkan  perjanijian kerja untukjangka  waktu tertentu dalam rangka melaksanakan  tugas pemerintahan.

B. Pemberlakuan Sanksi Bagi Pegawai Negeri Sipil Yang Menyalahgunakan Wewenang

Seiring dengan pilar utama negara hukum, yaitu asas legalitas (legaliteitsbeginsel atau het beginsel van wetmatigheid van bestuu ) berdasarkan prinsip tersebut bahwa wewenang pemerintah berasal dari peraturan perundang- undangan artinya   sumber   wewenang   bagi   pemerintah   adalah   peraturan perundang-undangan.

Wewenang adalah suatu hak yang menyangkut dengan kekuasaan Negara yang  bersifat  publik. Dalam hal wewenang tidak semua pegawai negeri sipil memiliki wewenang, hanya pegawai negeri sipil yang telah diserahi suatu jabatan saja yang dapat memiliki wewenang, sebagai pemangku jabatan pegawai tersebut disebut sebagai pejabat.

Pejabat adalah seseorang yang menjalankan hak dan kewajiban yang didukung oleh sebuah jabatan. Dimana pada umumnya jabatan itu hanya dapat diisi oleh Pegawai Negeri Sipil, orang yang bukan pegawai negeri sipil tidak dapat mengisi jabatan tersebut dalam lingkungan pemerintahan. Pegawai negeri sipil yang memiliki wewenang harus melaksanakan kewajibannya sesuai dengan poksi yang telah ditentukan oleh undang-undang.

Dalam  hukum  administrasi  negara  terdapat  3  defenisi  Penyalahgunaan wewenang, yaitu:
a. Penyalahgunaan wewenang untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum atau untuk menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan;
b. Penyalahgunaan wewenang dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah  benar  ditunjukkan  untuk  kepentingan  umum,  tetapi menyimpang dari tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh undang-undang atau peraturan-peraturan lain;
c. Penyalahgunaan  wewenang  dalam  arti  menyalahgunakan  prosedur yang seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana.

Pelaksanaan suatu sanksi pemerintahan berlaku sebagai suatu keputusan (ketetapan)  yang  memberi beban.  Hal  itu  membawa serta hakekat  (sifat)  dari sanksi. Bagi jenis tindakan-tindakan penguasa terkandung secara khusus adanya azas kecermatan dalam makna azas umum pemerintahan yan layak.
Perbuatan pemerintah negara atau aparatur negara merupakan suatu perbuatan yang dilakukan oleh alat pemerintahan/penguasa dalam tingkat tinggi dan  rendahan  secara  spontan  serta  mandiri  untuk  pemeliharaan  kepentingan negara dan rakyat. Dalam hal tersebut harus dibedakan antara perbuatan hukum (recht handelingen) dengan perbuatan yang bukan perbuatan hukum (feitelijke handelingen) yang oleh P. De Haan disebut sebagai perbuatan materiil atau tindakan nyata.
Dalam suatu negara hukum setiap tindakan hukum pemerintahan selalu harus didasarkan pada asas legalitas atau harus berdasarkan undang-undang yang beriaku. Yang artinya tindakan hukum pemerintahan itu pada dasarnya adalah tindakan yang dilakukan dalam rangka melaksanakan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang beriaku atau dalam rangka mengatur   dan   melayani   kepentingan   umum   yang   dikristalisasikan dalam ketentuan undang-undang yang bersangkutan.   Ketentuan-ketentuan   undang-undang   tersebut   melahirkan   kewenangan   tertentu   bagi   pemerintah   untuk melakukan tindakan hukum tertentu. Karena sebuah kewenangan hanya diberikan kepada organ pemerintahan tertentu, tidak kepada pihak lain.
Setiap Pegawai Negeri Sipil bukan saja haras memenuhi tugas dan kewajibannya akan tetapi bilamana hal tersebut dilanggar, pegawai negeri sipil tersebut dapat diberhentikan dengan hormat atau diberhentikan dengan tidak hormat.

a. Pegawai negeri sipil dapat diberhentikan dengan hormat atau tidak atas permintaan sendiri atau tidak dengan hormat karena:
1. Di hukum penjara berdasarkan keputusa Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang telah melakukan tindak pidana kejahatan yang amcaman hukumannya 4 (empat) tahun atau lebih
2. Melakukan pelanggaran disiplin pegawai negeri sipil tingkat berat.
b. Pegawai Negeri Sipil diberhentikan dengan tidak hormat karena
1. Melanggar  sumpah/  janji pegawai negeri sipil  dan sumpah/janji jabatan karena tidak setia kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, negara dan pemerintah.
2. Melakukan penyelewengan terhadap ideologi negara, pancasila, undang-undang dasar 1945 atau terlibat dalam kegiatan yang menentang negara dan pemerintah.
3. Di hukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatanyang ada hubungannya dengan jabatan.
c. Pegawai Negeri Sipil yang dikenakan penahanan oleh pejabat  yang berwenang karena disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan sampai mendapat putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dikenakan pemberhentian sementara.
d. Pemberhentian karena meninggalkan tugas:
1. Pegawai  Negeri  Sipil  meninggalkan  tugasnya  secara  tidak  sah dalam waktu 2 (dua) bulan terus menerus, diberhentikan pembayaran gajinya mulai bulan ketiga.
2. Pegawai  Negeri  Sipil  meninggalkan  tugasnya  secara  tidak  sah dalam waktu 6 (enam) bulan terus menerus, diberhentikan tidak dengan hormat.
e. Pegawai  Negeri  Sipil  yang  tidak  melaporkan  dirinya  kembali  ke instansi induknya setelah menjalani cuti diluar tanggungan negara, diberhentikan dengan hormat sebagai pegawai negeri sipil.
Pemerintah sebagai organisasi adalah suatu alat yang saling berhubungan dengan satuan-satuan kerja yang ada serta memberikan suatu  jabatan maupun amanat kepada orang-orang yang ditempatkandalam struktur organisasi tersebut untuk   melaksanakan   dan   menjalankan   fungsi   kewenangan   masing-masing menurut tugas dan pekerjaan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

C. Penyelesaian    Sengketa    Kepegawaian    Pasca   Lahirnya   Undang-Undang Nomor  5 Tahun  2014

Menurut  Winardi,  Sengketa  adalah  pertentangan   atau  konflik  yang  terjadi antara individu-individu  atau kelompok-kelompok   yang  mempunyai  hubungan  atau kepentingan  yang  sama  atas  suatu  objek  kepemilikan,  yang  menimbulkan  akibat hukum antara satu dengan yang lain.Sengketa kepegawaian  adalah salah satu jenis Sengketa Administasi  Negara  (Sengketa  Tata  Usaha  Negara)  yang bersifat  intern, karena para pihak dalam sengketa ini adalah sama-sama berkedudukan sebagai Pejabat/Badan Tata Usaha Negara. Sengketa kepegawaian dapat terjadi akibat dikeluarkannya  suatu  Keputusan  Tata. Usaha  Negara  (Beschikking) dalam  urusan Kepegawaian,  yang dalam praktek  kepegawaian  sehari-hari  banyak  dikenal  dalam bentuk  Surat  Keputusan   (SK)  dari  pejabat   tertentu,   seperti:   SK  Pengangkatan Pegawai, SK Pemberhentian  Pegawai baik  atas permohonan  sendiri maupun bukan atas permohonan  sendiri, SK Mutasi,  SK Penjatuhan  Sanksi Administrasi Kepegawaian, SK Pen-jatuhan Hukuman Disiplin PNS, dan lain-lain.

Dengan  kata  lain  sengketa  Kepegawaian   terjadi   apabila  tidak  diterimanya ketentuan  dari suatu  Surat   Keputusan  yang dikeluarkan    oleh   Pejabat   yang berwenang  untuk Aparatur  Negara  atau Pegawai  Negeri  terkait, karena  dirasa ada ketidaksesuaian  dengan apa yang dilakukan,  sehingga dianggap merugikan Aparatur Negara atau Pegawai Negeri tersebut.  Dalam Undang-Undang  Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang  Nomor  5 Tahun 1986 Tentang peradilan Tata Usaha Negara disebutkan bahwa sengketa Kepegawaian  terjadi apabila seorang Pegawai  Negeri yang  mendapatkan   SK,  merasa   mendapatkan   kerugian sebagai akibat dari dikeluarkannya SK tersebut, dalam hal ini yang bersangkutan akan memposisikan dirinya sebagai penggugat.

Sengketa  Kepegawaian  merupakan   bagian   dari sengketa   tata  usaha  negara. Pengertian  tentang  sengketa  Tata  Usaha  Negara  diatur  dalam  Pasal  1  angka 10 Undang-Undang Nomor 51  Tahun 2009 tentang Peradilan  Tata Usaha Negara yang menyatakan  bahwa Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat  tata  usaha  negara,  baik  di  pusat  maupun   di  daerah,  sebagai  akibat  di keluarkan keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan  yang berlaku.

Terkait dengan peraturan  perundang-undangan tentang  kepegawaian,   maka sebelum  adanya  Undang-Undang  Nomor  5   Tahun  2014  tentang  Aparatur  Sipil Negara,sengketa  kepegawaian  diatur dalam  Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok  Kepegawaian  jo  Undang-Undang  No 43 Tahun  1999 tentang dan  Peraturan  Pemerintah  No. 53  Tahun  2010  tentang  Disiplin  Pegawai  Negeri Sipil. Dalam Pasal 35 Undang-Undang  Nomor 8  Tahun  1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, yang menyatakan bahwa  Penyelesaian  sengketa  di  bidang kepegawaian  dilakukan  melalui  peradilan  untuk  itu, sebagai  bagian  dari Peradilan Tata Usaha  Negara  yang dimaksud  dalam Undang-undang  Nomor  14  Tahun  1970 tentang  Ketentuan-ketentuan Pokok  Kekuasaan  Kehakiman,   yang  kemudian  pada Undang-Undang  Nomor  43 Tahun  1999   sebagai  perubahan  dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok  Kepegawaian  diatur pada Pasal 35 ayat (1) bahwa Sengketa kepegawaian diselesaikan melalui Peradilan Tata Usaha Negara. Kemudian   pada  Pasal   35 ayat (2)  menyebutkan  bahwa   Sengketa  kepegawaian sebagai   akibat   pelanggaran terhadap peraturan disiplin Pegawai Negeri Sipil diselesaikan   melalui   upaya  banding   administratif   kepada   Badan  Pertimbangan Kepegawaian,  dan  pada  Pasal  35  ayat (3)  disebutkan  bahwa  Badan  sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Dalam hal penjatuhan hukum disiplin Pegawai Negeri Sipil, maka diatur dalam Pasal 1  angka 6 menyebutkan bahwa upaya administratif  adalah prosedur yang dapat ditempuh  oleh  PNS  yang  tidak  puas  terhadap hukuman disiplin  yang  dijatuhkan kepadanya  berupa  keberatan  atau banding  administratif. Pasal I angka 7 kemudian menyebutkan bahwa Keberatan adalah upaya administratif yang dapat ditempuh oleh PNS yang tidak puas  terhadap  hukumandisiplin  yang dijatuhkan  oleh pejabat  yang berwenang menghukum kepada atasan pejabat yang berwenang  menghukum,   dan selanjutnya  pada  Pasal 1 angka 8 disebutkan  bahwa  Banding  administratif  adalah upaya administratif yang  dapat ditempuh    oleh PNS yang tidak puas terhadap hukuman disiplin berupa    pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri atau  pemberhentian tidak  dengan hormat  sebagai  PNS  yang dijatuhkan oleh pejabat yang berwenang menghukum, kepada Badan Pertimbangan Kepegawaian. Peraturan Pemerintah tentang Badan Pertimbangan   Kepegawaian ditetapkan  melalui  PP Nomor  24 Tahun 2011.Peraturan  Pemerintah  tentang  Badan Pertimbangan  Kepegawaian (BAPEK) ini diamanatkan oleh  Pasal 35 ayat (2) UU No. 43  Tahun  1999,   yang  memerintahkan  pengaturan  lebih  lanjut  mengenai  BAPEK melalui  Peraturan   Pemerintah.   Dalam  PP  Nomor  24  Tahun  2011  tugas  Bapek dijelaskan  antara  pada  Pasal  2  huruf  b,  bahwa  Bapek  bertugas  memeriksa   dan mengambil  keputusan  atas banding  administratif  dari PNS yang dijatuhi  hukuman disiplin berupa pemberhentian  dengan hormat tidak atas permintaan sendiri atau pemberhentian  tidak dengan hormat sebagai PNS oleh pejabat pembina kepegawaian dan/atau gubemur selaku wakil pemerintah.

Oleh karena itu, tidak semua hukuman disiplin dapat diajukan banding administratif.  Terhadap   hukuman   disiplin   diluar   dari   kedua   hal  diatas, dapat mengajukan upaya administratif melalui mekanisme keberatan. Adapun  apabila penyelesaian melalui upaya administrasi   tersebut  sudah  dilakukan  baikkeberatan atau  banding namun  tidak  dapat  terselesaikan,   barulah   mengajukan   gugatan  ke Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Sebelum seorang Pegawai mengajukan penyelesaian  sengketa melalui PTUN maka menurut Pasal 48 Undang-Undang  No. 5 Tahun  1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara jo Undang-Undang  No. 51 Tahun 2009   Tentang   Perubahan   Kedua   Atas  Undang-Undang   Nomor  5  Tahun 1986 Tentang  Peradilan  Tata Usaha  Negara,  harus  diselesaikan  terlebih  dahulu  melalui upaya administratif.

Pada  Pasal  48  ayat  (1)  dinyatakan   bahwa  dalam  hal  suatu  Badan  atau  Pejabat Tata  Usaha   Negara   diberi   wewenang    oleh  atau  berdasarkan peraturan  perundang- undangan untuk  menyelesaikan     secara   administratif    sengketa   Tata Usaha Negara tertentu, maka  batal   atau  tidak  sah, dengan atau  tanpa disertai tuntutan ganti  rugi dan/administratif    yang  tersedia   dan  Pada  Pasal  48  ayat  (2) diatur  bahwa Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan   sengketa  Tata  Usaha Negara  sebagaimana dimaksud   dalam  ayat  ( 1) jika  seluruh  upaya  administratif  yang bersangkutan   telah  digunakan.

Seiring dengan upaya pemerintah  untuk menyempurnakan sistem manajemen kepegawaian melalui peraturan perundang-undangan,       kemudian lahirlah  Undang  Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil   Negara. Dengan  lahirnya  undang-undang  tersebut, maka terjadi    perubahan  pula  pada   ketentuan  dan  mekanisme mengenai sengketa   kepegawaian. Berbeda dengan apa yang termuat  dalam  Undang-Undang   Nomor 8  Tahun  1974  tentang  Pokok-pokok  Kepegawaian  jo   Undang-Undang No 43 Tahun 1999 tentang begitu juga pada Peraturan   Pemerintah No. 53 Tahun  2010  tentang  Disiplin  Pegawai  Negeri  Sipil.  Dalam  Undang-Undang Nomor  5 Tahun  2014  tentang   Aparatur   Sipil  Negara   lahir  Badan  Pertimbangan  Aparatur Sipil Negara  atau  Badan     Pertimbangan ASN yang  bertugas  menerima banding administratif    yang diajukan oleh Aparatur  Sipil  Negara  yang  bersengketa. Berbeda dengan  apa yang  ada  di dalam  peraturan   perundang-undangan  yang  terdahulu, dalam hal   pemeriksaan dan  pengambilan  keputusan     mengenai banding  administratif dilakukan oleh  Badan Pertimbangan    Kepegawaian. Adapun apabila  ditelaah  lebih lanjut  perbedaan  tersebut   ada di dalam undang-undang yang baru yaitu UU  No. 5 Tahun 2014   tentang   Aparatur  Sipil Negara, dimana   Penyelesaian   Sengketa  ASN diatur  pada  Pasal  129:
1) Sengketa Pegawai ASN diselesaikan melalui upaya administratif.
2) Upaya administratif  sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri  dari keberatan  dan banding administratif.
3) Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan secara tertulis kepada atasan pejabat yang berwenang  menghukum  dengan memuat  alasan keberatan dan tembusannya disampaikan kepada pejabat yang berwenang menghukum.
4) Banding  administratif  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (2) diajukan  kepada badan pertimbangan ASN.
5) Ketentuan  lebih  lanjut mengenai  upaya administratifdan  badan pertimbanganASN sebagaimana  dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4)diatur denganPeraturan Pemerintah.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Perlindungan  hukum  bagi  aparatur   negara   dalam   penyelesaian   sengketa kepegawaian   pasca  berlakunya   Undang-Undang  Nomor 5   Tahun  2014  tentang Aparatur Sipil Negara belum dapat secara optimal  diberikan. Ini dikarenakan belum adanya  Peraturan   Pemerintah  (PP)  atau  peraturan  yang secara teknis mengatur mengenai upaya   administratif  dan Badan Pertimbangan  ASN  seperti   yang diamanatkan  oleh Pasal 129 ayat (5) Undang-Undang  Nomor 5  Tahun 2014 tentang Aparatur  Sipil  Negara  yang  menyatakan  bahwa,  ketentuan  lebih  lanjut  mengenai upaya administratif  dan badan pertimbangan  ASN sebagaimana  dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah, maka dalam mekanisme penyelesaian  sengketa ASN dapat mengalami  ketidakpastian  bagi  aparatur  negara. Adapun   perlindungan  hukum yang dapat   dilakukan   Pemerintah   yaitu   segera menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) atau peraturan  yang secara teknis mengenai upaya administratif  dan Badan Pertimbangan ASN.

Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang telah menyalahgunakan wewenang dapat diberi sanksi administrasi yakni berupa;
1) Paksaan pemerintah agar dapat mengembalikan kepada keadaan semula.
2) Penarikan  kembali  keputusan  tata  usaha  negara  yaitu  dengan mengeluarkan keputusan baru dan keputusan yang terdahulu tidak berlaku lagi.
3) Pengenaan uang paksa karena tidak melaksanakan sesuatu sesuai dengan peraturan undang- undangan yang berlaku.
4) Pengenaan denda administrasi.

B. Saran

Penulis menyarankan kepada setiap Pegawai Negara sipil atau Aparatur Sipil Negara agar melakukan segala kegiatan atau pekerjaannya sesuai dengan peraturan yang telah ditentukan. Dan tidak melakukan pelanggaran terhadap peraturan tersebut, guna tercipta pegawai yang Profesional.

Referensi:

https://www.scribd.com/doc/112418169/Makalah-Hukum-Kepegawaian
8300 jurnal.usu.ac.id
[PDF] Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil - Scribd - Free Downloadedoc.tips
[Download DOCX] - Makalah Hukum Kepegawaiandokumen.tips

Nurmalita-Ayuningtyas-Harahap-Jurnal-Yuridis-Vol-3-No-2-Desember-2016

Makalah Penelitian Bahasa "Penyusunan dan Pengembangan Alat Ukur Penelitian Bahasa"

Makalah ini berisi tentang pengembangkan alat ukur penelitian bahasa serta penyusunan alat ukur penelitian. Dalam rangka memahami pengembangan dan penyusunan alat ukur penelitian, maka  dibahas mengenai beberapa hal yang terkait, diantaranya instrumen penelitian, validitas dan reliabilitas. 


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Alat ukur memegang peranan yang sangat penting dalam menentukan mutu suatu penelitian, karena validitas atau kesahihan data yang diperoleh akan sangat ditentukan oleh kualitas atau validitas alat ukur yang digunakan, di samping prosedur pengumpulan data yang ditempuh. Hal ini mudah dipahami karena alat ukur berfungsi mengungkapkan fakta menjadi data, sehingga jika alat ukur yang digunakan mempunyai kualitas yang memadai dalam arti valid dan reliabel maka data yang diperoleh akan sesuai dengan fakta atau keadaan sesungguhnya di lapangan. Sedangkan jika kualitas alat ukur yang digunakan tidak baik dalam arti mempunyai validitas dan reliabilitas yang rendah, maka data yang diperoleh juga tidak valid atau tidak sesuai dengan fakta di lapangan, sehingga dapat menghasilkan kesimpulan yang keliru.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut.
1) Bagaimana mengembangkan alat ukur penelitian?
2) Bagaimana menyusun alat ukur penelitian?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan dalam makalah ini yakni agar kita dapat mengembangkan dan menyusun alat ukur penelitian dalam penelitian bahasa.



BAB II
PEMBAHASAN
Dalam rangka memahami pengembangan dan penyusunan alat ukur penelitian, maka berikut ini akan dibahas mengenai beberapa hal yang terkait, diantaranya instrumen penelitian, validitas dan reliabilitas.

2.2 Alat Ukur (Instrumen)
Pada prinsipnya meneliti adalah melakukan pengukuran, oleh karena itu harus ada alat ukur yang baik. Alat ukur dalam penelitian biasanya dinamakan instrumen  penelitian. Jadi, instrumen penelitian adalah suatu alat yang digunakan untuk  mengukur fenomena alam maupun sosial yang diamati. Menurut Suharsimi Arikunto (2000:134), instrumen pengumpulan data adalah alat bantu yang dipilih dan digunakan oleh peneliti dalam kegiatannya mengumpulkan agar kegiatan tersebut menjadi sistematis dan dipermudah olehnya.Ibnu Hadjar (1996:160) berpendapat bahwa instrumen merupakan alat ukur yang digunakan untuk mendapatkan informasi kuantitatif tentang variasi karakteristik variabel secara objektif.Instrumen pengumpul data menurut Sumadi Suryabrata (2008:52) adalah alat yang digunakan untuk merekam-pada umumnya secara kuantitatif-keadaan dan aktivitas atribut-atribut psikologis. Atibut-atribut psikologis itu secara teknis biasanya digolongkan menjadi atribut kognitif dan atribut non kognitif. Sumadi mengemukakan bahwa untuk atribut kognitif, perangsangnya adalah pertanyaan. Sedangkan untuk atribut non-kognitif, perangsangnya adalah pernyataan.
Di dalam suatu proses penelitian, jumlah instrumen  tergantung pada jumlah variabel penelitian yang telah ditetapkan untuk diteliti. 
Titik tolak dari penyusunan adalah variabel-variabel penelitian yang ditetapkan untuk diteliti. Dari variabel-variabel tersebut diberikan definisi operasionalnya, dan selanjutnya ditentukan indikator yang akan diukur. Dari indikator ini kemudian dijabarkan menjadi butir-butir pertanyaan atau pernyataan.Untuk memudahkan penyusunan instrumen, maka perlu digunakan “matrik pengembangan instrumen” atau kisi-kisi instrumen”.
Untuk dapat menetapkan indikator-indikator dari setiap variabel yang diteliti, maka diperlukan wawasan yang luas dan mendalam tentang variabel yang diteliti, dan teori-teori yang pendukungnya.Penggunaan teori untuk menyusun instrumen harus secermat mungkin agar diperoleh indikator yang valid.Caranya dapat dilakukan dengan membaca berbagai referensi.
Instrumen penelitian itu merupakan salah satu komponen penting yang diperlukan dalam proses penelitian. Dalam konteks pembelajaran, instrumen penelitian jenis tes dijadikan alat untuk mengukur hasil belajar. Kadangkala dalam proses pembelajaran, aspek evaluasi hasil belajar ini diabaikan. Artinya, dosen, guru atau instruktur terlalu memperhatikan penyajian pelajaran saja.Perkuliahan atau pelajaran berjalan baik, praktikum berjalan rapi, namun saat membuat tes atau soal praktikum, tidak lagi melihat tujuan pembelajaran yang pernah dibuatnya di SAP atau RPP.Akibatnya, tes hasil belajar yang dibuat terkesan seperti jatuh dari langit saja.Artinya, dosen atau guru membuat soal tes menjadi seadanya atau seingatnya saja, tanpa harus memenuhi kriteria pembuatan tes yang baik dan benar.Misalnya apakah soal ujian tersebut sudah sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan; apakah memperhatikan aspek kognitif, afektif atau psikomotorik dan sebagainya.Penyusunan tes hasil belajar yang menggunakan instrumen untuk keperluan penelitian, perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a.    Tes tersebut fungsinya dapat memperoleh informasi tentang kemampuan subjek penelitian.
b.    Mendiskusikan tentang fungsi penilaian untuk memperoleh pemahaman tentang hal-hal apa saja yang dapat dinilai melalui pelaksanaan suatu tes. Apakah sekedar memberi nilai untuk menentukan lulus atau tidaknya mahasiswa atau siswa tersebut. Ataukah ada fungsi-fungsi lain yang ingin dicapai melalui penilaian tersebut, misalnya data yang diperoleh digunakan untuk penelitian.
c.    Menentukan kriteria penilaian untuk kepentingan penelitian. Ini berarti untuk melakukan penilaian yang baik dibutuhkan mutu soal tes yang baik pula. Dalam praktek pengajaran, tes dilaksanakan dengan memberikan serangkaian soal tes hasil belajar. Semakin bermutu tes yang diberikan maka semakin terandalkan pula penilaian yang diperoleh dan hal ini berdampak pada makin baik data yang diperoleh untuk keperluan penelitian.
d.    Merancang soal-soal yang diberikan kepada subjek penelitian dalam suatu struktur yang sedemikian rupa, sehingga jumlah dan derajat kesukaran soal yang tetap relevan dengan pencapaian tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan dalam Rancangan Kegiatan Belajar Mengajar(RKBM).
e.    Mengingat derajat kesukaran soal dapat berbeda satu dengan lainnya, tiap-tiap soal perlu mendapat bobot soal menurut relevansinya dengan tujuan belajar.
f.     Sesudah proses membuat, menstrukturkan dan menentukan bobot soal, maka soal-soal tersebut disajikan melalui ujian. Setelah itu dilakukan pengukuran dan penilaian hasil untuk keperluan penelitian.

2.2.1    Karakteristik Instrumen
Alat pengukuran dapat dinilai pada berbagai manfaat.Ini termasuk isu-isu praktis.Semua instrumen memiliki kekuatan dan kelemahan-ada instrumen yangsempurna untuk setiap tugas. Beberapa isu-isu praktis yang perlu diperhatikan antara lain:
a)    Biaya
b)    Ketersediaan
c)    Pelatihan diperlukan
d)    Kemudahan administrasi, penilaian, analisis
e)    Waktu dan upaya yang diperlukan untuk responden untuk menyelesaikan mengukur.
Selain isu-isu praktis tersebut, syarat utama instrumen yang baik adalah valid, reliabel, sensitif, obyektifitas tinggi dan fisibilitas baik. 

2.2.2   Prosedur Penyusunan Instrumen Tes

Prosedur penyusunan instrumen tes adalah sebagai berikut.
1.    Mengembangkan spesifikasi tes, yang meliputi: 
-       Menyusun tujuan khusus pembelajaran 
-       Mengadakan pembatasan terhadap bahan yang akan diteskan
-       Menyusun kisi-kisi tes, yang memuat pokok materi, tujuan instruksional khusus, dan aspek berpikir yang diukur. Selanjutnya ditentukan banyak item tes untuk masing-masing tujuan instruksional khusus pada masing-masing domain.
2.    Memilih bentuk tes yang tepat
3.    Menulis item-item tes berdasarkan kisi-kisi yang sudah disusun.
4.    Petunjuk pengisian instrumen

2.2.3 Prosedur Pengujian Instrumen Penelitian

   Pengujian instrumen dimulai dengan responden. Hasil yang diperoleh kemudian dianalisis untuk menguji instrumen tersebut. Ukuran umum yang digunakan adalah validitas dan reliabilitas. Khusus untuk tes hasil belajar, selain validitas dan reliabilitas masih ada lagi ukuran lain yang dapat digunakan, antara lain tingkat kesukaran, daya pembeda, dan analisis pengecoh.

2.2.4  Menentukan Instrumen Penelitian
Instrumen Penelitian adalah segala peralatan yang digunakan untuk memperoleh, mengelola, dan menginterpretasikan informasi dari para responden yang dilakukan dengan pola pengukuran yang sama, Instrumen penelitian dirancang untuk satu tujuan dan tidak bisa digunakan pada penelitian yang lain. Kekhasan setiap objek penelitian menyebabkan seorang peneliti harus merancang sendiri instrumen yang digunakan. Susunan instrumen untuk setiap penelitian tidak selalu sama dengan penelitian lain. Hal ini mengingat tujuan dan mekanisme kerja dalam setiap teknik penelitian juga berbeda-beda.
Beberapa jenis instrumen dalam suatu penelitian adalah sebagai berikut[8]
1.    Tes
Tes adalah sederetan pertanyaan atau latihan atau alat lain yang digunakan untuk mengukur keterampilan, pengukuran, intelegensi, kemampuan atau bakat yang dimiliki oleh individu atau kelompok.
2.    Angket atau Kuesioner
Kuesioner adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang pribadinya, atau hal-hal yang ia ketahui.
3.    wawancara (Interview)
wawancara digunakan oleh peneliti untuk menilai keadaan seseorang, misalnya untuk mencari data tentang variable latar belakang murid, orang tua, pendidikan, perhatian, sikap terhadap sesuatu.
4.    Observasi
Di dalam artian penelitian observasi adalah mengadakan pengamatan secara langsung, observasi dapat dilakukan dengan tes, kuesioner, ragam gambar, dan rekaman suara. Pedoman observasi berisi sebuah daftar jenis kegiatan yang mungkin timbul dan akan diamati.
5.    Skala bertingkat (Ratings)
Rating atau skala bertingkat adalah suatu ukuran subyektif yang dibuat berskala. Walaupun skala bertingkat ini menghasilkan data yang kasar, tetapi cukup memberikan informasi tertentu tentang program atau orang. Instrumen ini dapat dengan mudah memberikan gambaran penampilan, terutama penampilan di dalam orang menjalankan tugas, yang menunjukkan frekuensi munculnya sifat-sifat. Di dalam menyusun skala, yang perlu diperhatikan adalah bagaimana menentukan variabel skala. Apa yang ditanyakan harus apa yang dapat diamati responden.
6.    Dokumentasi
Dokumentasi, dari asal kata dokumen, yang artinya barang-barang tertulis. Di dalam melaksanakan metode dokumentasi, penelitian menyelidiki benda-benda tertulis seperti buku-buku, majalah, dokumen, peraturan-peraturan, notulen rapat, dan sebagainya.

2.2.5 Penyusunan Instrumen Penelitian
Dalam setiap penelitian yang bersifat empiris selalu dibutuhkan instrumen penelitian yang terdiri dari daftar kuesioner (pernyataan), formulir tabulasi, dan formulir analisis. Ketiga macam instrumen penelitian tersebut harus dirancang dalam satu kesatuan sehingga dalam proses penelitian dapat bekerja dalam satu arah terpadu. Di antara ketiga penelitian tersebut, perancangan daftar kuesioner membutuhkan perhatian yang lebih besar dibanding jenis instrumen lainnya. Mutu daftar kuesioner sangat menentukan keberhasilan penelitian yang sedang dilakukan. Jenis instrumen lain, perancangan menyesuaikan dengan struktur daftar pertanyaan. Keterpaduan semua aspek instrumen penelitian diharapkan dapat menghasilkan suatu instrumen yang baik dan memenuhi tujuan penelitian tersebut.
Daftar kuesioner adalah serangkaian pertanyaan yang diajukan kepada responden guna mengumpulkan informasi dari responden mengenai objek yang sedang diteliti, baik berupa pendapat, tanggapan, ataupun dirinya sendiri. Sebagai suatu instrumen penelitian, maka pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak boleh menyimpang dari arah yang akan dicapai oleh usulan proyek penelitian, yang tercermin dalam rumusan hipotesis. Dengan demikian, daftar pertanyaan yang harus diajukan dengan taktis dan strategik sehingga mampu menyaring informasi yang dibutuhkan oleh responden.
Pertanyaan yang diajukan oleh responden harus jelas rumusannya, sehingga peneliti akan menerima informasi dengan tepat dari responden. Sebab responden dan pewawancara dapat menginterpretasikan makna suatu kalimat yang berbeda dengan maksud peneliti, sehingga isi pertanyaan justru tidak dapat dijawab. Di samping itu harus pula diperhatikan kemana arah yang dicapai, mengingat tanpa arah yang jelas tidak mungkin dapat disusun suatu daftar pertanyaan yang memadai.
Seorang peneliti dalam menyusun daftar pertanyaan hendaknya mempertimbangkan hal-hal berikut:
1.    Apakah anda menggunakan tipe pertanyaan terbuka atau tertutup atau gabungan keduanya
2.    Dalam mengajukan pertanyaan hendaknya jangan langsung pada masalah inti/pokok dalam penelitian anda. Buatlah pertanyaan yang setahap demi setahap, sehingga mampu mengorek informasi yang dibutuhkan.
3.    Pertanyaan hendaknya disusun dengan menggunakan bahasa Nasional atau setempat agar mudah dipahami oleh responden.
4.    Apabila menggunakan pertanyaan tertutup, hendaknya setiap pertanyaan maupun jawaban diidentifikasi dan diberi kode guna memudahkan dalam pengolahan informasi.
5.    Dalam membuat daftar pertanyaan, hendaknya diingat bahwa anda bukanlah seorang introgator, tetapi pihak yang membutuhkan informasi dari pihak lain.

2.2.6 Proses Perancangan Daftar Pertanyaan
Menyusun suatu rancangan daftar pertanyaan sebetulnya merupakan kerja kolektif seluruh anggota tim peneliti. Keterlibatan semua anggota tim peneliti akan memberikan kontribusi penyempurnaan konstruksi instrumen penelitian.
Berikut adalah langkah-langkah dalam menyusun daftar pertanyaan:
1.    Penentuan informasi yang dibutuhkan
2.    Penentuan proses pengumpulan data
3.    Penyusunan instrumen penelitian
4.    Pengujian instrumen penelitian.

3 Validitas  dan Realibilitas
Validitas dan reliabilitas merupakan dua unsur yang tak terpisahkan dari suatu alat ukur. Suatu alat ukur yang telah memenuhi unsur validitas dapat dikatakan bahwa alat ukur tersebut juga memenuhi unsur-unsur reliabilitas.Namun demikian, suatu alat ukur yang telah memenuhi unsur-unsur reliabilitas belum tentu alat ukur tersebut juga memenuhi unsur-unsur validitas.Reliabilitas sendiri belum merupakan kriteria yang cukup untuk menyimpulkan bahwa alat ukur tersebut sudah valid.Jadi, bisa terjadi bahwa ada alat ukur yang reliabel namun tidak valid.Alat ukur yang valid dan reliabel untuk penelitian yang satu belum tentu valid dan reliabel untuk penelitian lainnya.
Sebuah contoh yang  dikemukakan olen Neuman (2000 : 165) cukup jelas untuk mengerti konsep reliabilitas dari suatu alat ukur. Dia memberikan contoh dengan menimbang berat badan kita. Pada waktu kita menimbang berat badan yang sama walaupun kita berkali-kali naik dan turun dari timbangan tersebut. Dengan asumsi bahwa kita tidak makan, minum, maupun berganti pakaian saat itu.Timbangan tersebut dapat dikatakan sebagai alat ukur yang reliabel. Timbangan tersebut akan dikatakan tidak reliabel bila timbangan tersebut menunjukkan angka yang berubah-ubah walaupun berat badan kita saat itu tidak berubah.
Kalau reliabilitas mengacu pada konsistensi dari hasil pengukuran, validitas suatu alat ukur mengacu pada sejauh mana hasil pengukurannya dapat menggambarkan kenyataan yang sesungguhnya. Bila dalam suatu tes kemampuan berbicara dalam bahasa Inggris A mendapatkan nilai lebih tinggi dari B, dan C mendapatkan nilai yang sama dengan B, maka perbedaan antara A dan B serta kesamaan antara B dan C merupakan fakta di lapangan. Fakta sehari-hari harus menunjukkan bahwa A memang mempunyai kemampuan berbicara dalam bahasa Inggris lebih baik dari B dan C, dan B mempunyai kemampuan yang relatif sama dengan C. seandainya hasil tes tersebut dapat menggambarkan fakta yang sesungguhnya, alat ukur yang digunakan untuk menilai kemampuan berbicara dalam bahasa Inggris tersebut dapat dikatakan sebagai alat ukur yang valid.[9]
Dari penjelasan tersebut bisa terjadi ada suatu alat ukur yang reliabel namun tidak valid. Bila alat ukur yang digunakan sudah valid, alat ukur tersebut dapat dikatakan sudah memenuhi aspek reliabilitas.Karena suatu alat ukur yang mempunyai reliabilitas rendah berarti alat ukur tersebut tidak valid.


BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Instrumen adalah alat yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam suatu penelitian. Data yang terkumpul dengan menggunakan instrumen tertentu akan dideskripsikan dan dilampirkan atau digunakan untuk menguji hipotesis yang diajukan dalam suatu penelitian. Untuk mengumpulkan data dalam suatu penelitian, kita dapat menggunakan instrumen yang telah tersedia dan dapat pula menggunakan instrumen yang dibuat sendiri. Instrumen yang telah tersedia pada umumnya adalah instrumen yang sudah dianggap baku untuk mengumpulkan data variabel-variabel tertentu.
Instrumen penelitian memiliki kualitas yang baik bila memenuhi dua kriteria pokok instrument yaitu adalah: validitas dan reliabilitas. Validitas adalah sejauh mana suatu instrumen melakukan fungsinya atau mengukur apa yang seharusnya diukur. Artinya sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu instrumen dalam melakukan fungsinya.
Reliabilitas menunjukkan sejauh mana instrumen dapat dipercaya. Makin cocok dengan sekor sesungguhnya makin tinggi reliabilitasnya. Reliabilitas juga merupakan derajat kepercayaan dimana skor penyimpangan individu relatif konsisten terhadap tes sama yang diulangi.



Daftar Pustaka
Arikunto, Suharsimi. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta. 2000

Emzir, Metodologi Penelitian Kualitatif Analisis Data.Jakarta: Rajawali Pers, 2012
­­Emzir, Metodologi Penelitian Pendidikan Kuantitatif & Kualitatif. Rajawali Pers, 2012
Gronlund E Norman & Robert L, Linn, Measurement and Evaluation in     Teaching.New York:Macmillan Publishing Company, 1990

Hadjar, Ibnu. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Kwantitatif dalam Pendidikan. Jakarta:RajaGrafindo Persada. 1996.

Kerlinger ,F.M., Foundation of Behavioral Research, Holt, Rinehart and Winston, New York, 1973
Nazir, Mohammad, Metode penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1983
Faisal, Sanapiah,Metodologi Penelitian Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional, 1982

Setiyadi, Bambang, Metode Penelitian untuk Pengajaran Bahasa Asing Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R &.Bandung:Alfabeta,2010
Suryabrata, Sumadi. Metodologi Penelitian. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 2008

Uno B Hamzah, Herminanto Sofyan; I made Candiasa; Pengembangan Instrumen Untuk Penelitian.Jakarta: Delima Press, 2001